Subscribe:
Selamat Datang di Ikatan Alumni Diniyyah Pasia

Rabu, 08 Februari 2012

Tarekat Di Minang Kabau




Saat Islam datang ke Indonesia sufisme sedang mengalami masa kejayaannnya. Akibatnya, Islam yang kemudian datang ke Indonesia tidak lepas dari pengaruhnya. Hal ini terbukti dari perkembangan pemikiran Islam di Indonesia yang lekat dengan warna sufisme.Wacana pemikiran tasawuf di kalangan ulama Nusantara seperti Hamzah al-Fansuri, Syam al-Din al-Sumatrani, Nur al-Din al-Raniri, Abd al-Rauf al-Sinkili, Muhammad Yusuf al-Makassari, Hamzah al-Fansuri dan Syam al-Din al-Sumatrani adalah dua tokoh yang banyak melahirkan karya besar dalam bentuk esai dan puisi dengan corak pemikiran Wahdat al-Wujud. Sedangkan tiga ulama terakhir cenderung kepada pemikiran yang mengharmonisasikan antara syari’ah dan tasawuf.
Polemik tasawuf heterodok (wujudiah) dengan paham ortodoks yang berkembang di Aceh  abad ke 16 dan 17 Masehi, dapat dimenangkan oleh ulama ortodoks  Syeikh Abd. al-Ra’uf dari Sinkel (W. 1693) yang lebih terkenal sebagai Tuanku Syiah Kuala.
Sejarah Pengembangan Islam di Minangkabau punya rele-vansi yang kuat dengan al-Sinkili khususnya dengan murid-muridnya. Yang paling terkenal di antara para murid al-Sinkili di Sumatera adalah Burhanuddin, yang lebih dikenal sebagai  Tuanku Ulakan.Ulakan adalah sebuah desa di pantai wilayah           Minangkabau (kini Sumatera Barat). Riwayat lokal mengenai perkembangan Islam di Minangkabau menyatakan Burhan al-Din (1056-1104/1646-92) belajar dengan al-Sinkili selama beberapa tahun sebelum kembali ke tempat kelahirannya. Burhan al-Din tentu saja, bukan ulama pertama yang memperkenalkan Islam ke wilayah Minangkabau, tetapi tak diragukan lagi ia memainkan peran menentukan dalam menguatkan Islamisasi di kalangan penduduk setempat. Peran Syeikh Burhan al-Din dalam pengem-bangan Islam di Minangkabau diawali dari usahanya mendirikan surau (pesantren) sebagai pusat penyiaran Islam. Pengajian al-Qur’an dan pusat pengembangan tarekat.
Surau pertama yang dijadikan Syeikh Burhanuddin sebagai basis pengembangan Islam  akhirnya masuk dalam  sistem budaya            Minangkabau. Hal ini tergambar dalam kehidupan masyarakatnya dimana setiap  nagari ada masjid dan  setiap kampung serta kaum (suku) mem-punyai surau. Surau sepintas  dapat  dilihat  seperti halnya mushalla tempat melakukan ibadat dan kegiatan-kegiatan keagamaan.Fungsi surau sebagai pusat pengembangan Tarekat di awali oleh Syekh Burhanuddin. Ulama yang memperkenalkan  tarekat  di Minangkabau ada-lah murid al-Singkili  yang bernama Syeikh Burhanuddin mendirikan surau  Syathariyah, sebuah lembaga  pendidikan  sejenis Ribat semacam halaqah, di Ulakan. Tak lama kemudian surau  Ulakan termasyhur sebagai  satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minangkabau.[1] Melalui tarekat tersebut tumbuh dan berkembang lah surau-surau di Minangkabau. Surau  di Minangkabau  pada saat itu identik dengan  perkembangan tarekat.
Pengaruh surau Ulakan bagi perkembangan Islam di Minang-kabau cukup besar sehingga dalam tradisi sejarah di kalangan para ulama sering dianggap bahwa kota kecil ini sumber penye-baran Islam. Bahkan, bukan tidak mungkin peranan ini menimbulkan diktum yang terkenal dalam tambo adat Minang-kabau,” Agama mendaki, adat menurun” Namun yang pasti ialah bahwa dengan tradisi surau atau pesantren, sebagai pusat pengajaran dan pemupukan ilmu pengetahuan keagamaan, bermula di Minangkabau. Dari sinilah “Silsilah” atau mata rantai surau-surau dimulai.
Surau Ulakan sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan yang pertama di Minangkabau sangat besar pengaruhnya bagi pengembangan Islam ke seluruh pelosok alam Minangkabau. Tumbuhnya Surau sebagai lembaga pendidikan agama dan tarekat terus berkembang pesat. Setiap ulama Minangkabau memiliki surau sendiri, baik sebagai tempat pelaksanaan pengajaran agama maupun tarekat. Pada era ini, perkem-banganTarekat menemukan momentumnya, sehingga dapat dikatakan eksistensi surau bukan saja menunjukkan suatu jenis lembaga pendidi-kan masyarakat, akan tetapi lebih jauh dari itu menunjukkan bentuk tarekat yang dianut oleh suatu komunitas masyarakat Islam Minangkabau. Bahkan pada masa ini, fungsi surau terkadang lebih dominan sebagai tempat praktek tarekat, ketimbang sebagai lembaga pendidikan. Setiap surau di Minang-kabau, memiliki otoritas tersendiri, baik dalam praktek tarekat maupun penekanan cabang ilmu-ilmu ke-Islaman.
Dalam perkembangan selanjutnya surau Syeikh Burhanuddin Ulakan dan surau yang diberikan oleh murid-muridnya menjadi pusat Tarekat Syathariyah. Sebelumnya sekitar paruh pertama abad XVII telah terdapat beberapa surau di pedalaman Minangkabau yang menjadi pusat pengembangan Tarekat Naqsabandiyah, yang menonjol di antaranya di daerah Lima Puluh Kota dan Tanah Datar. Di daerah pesisir dan Agam terdapat pulau surau Tarekat Qadiriyah tapi tidak begitu di kenal seperti Tarekat Naqsabandiyah menunjukkan perkembangan positif Tarekat Syathariyah. Surau-surau Syarhariyah beralih fungsi menjadi pusat pengembangan Tarekat Naqsabandiyah, khususnya zikir dan suluk, misalnya Surau Cangking di Agam, Surau Silungkang, Surau Kasik di Singkarak, Surau Pasir di Agam dan Surau di Bonjol. Verkerk Pistorius memperkirakan bahwa sampai tahun 1869 kira-kira seperdelapan dari penduduk Minangkabau telah bergabung dengan gerakan baru itu.
Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah yang begitu cepat dan mudah diterima pada umat Islam Minangkabau karena sistem metode pengajaran Tarekat Naqsabandiyah lebih mudah dan semangat ritual keagamaannya seperti zikir dan suluk lebih mengena di hati mereka. Sementara, ajaran dan pemahaman Tarekat Syathariyah lebih rumit dan filosofis, misalnya kajian Tarekat Syathariyah menganai pengajian tubuh dan martabat tujuh. Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa corak Tarekat Naqsabandiyah lebih ortodoks, yaitu lebih mengutama-kan syariah dan ibadah dalam menuju ma’rifah, sedangkan Tarekat Syathariyah lebih heterodoks, mengutamakan ma’rifah melalui pende-katan filosofis. Konflik keagamaan antara kaum pembela Tarekat Naqsabandiyah dengan Tarekat Syathariyah digambar-kan oleh Martin Van Bruinessen seperti dibawah ini :
“Sumber-sumber yang belakangan menyebut Syeikh dari Cangking, Jalaludin sebagai Syekkh Naqsabandiyah yang paling ber-pengaruh, Ia banyak menarik orang pindah  menjadi pengikut Naqsa-bandiyah, dan oleh karena itu ia terlbat dalam konflik dengan guru-guru Syatariyah dan tarekat lokal yang lebih kecil, yang melihat betapa sumber penghidupannya terancam. Tarekat Naqsabandiyahnya yang dikembangkan oleh Jalaludin menyebar-kan pembaharuan tertentu yang semuanya merupakan pemutusan  dengan tradisi lokal dan re-orientasi ke Makkah pusat dunia Islam.Penolakan  terjadi ajaran mistik yang sinkretistik dan syirik, penekanan untuk kebutuhan pada melafalkan perkataan Arab dengan benar, pembetulan arah kiblat mesjid dan penentuan yang tepat kapan awal dan kapan akhir bulan Ramadhan. Ini memberi-kan  pada Tarekat watak pembaharuan, rakyat setempat menamai mereka “golongan haji” orang puasa dulu (sebagai lawan) dari kalangan Syathariyah yang dinamai dengan “orang puasa kemu-dian” atau menamai paham mereka dengan “Agama Cangking”(sebagai lawan dari “Agama Ulakan“), dengan meng-ambil nama pusat Syyathariyah yang pertama di Ulakan Pariaman[2]
Konflik antara Tarekat Syathariyah dan Naqsabandiyah di Minangkabau sejak abad ke-19 ini menjadikan dinamika keaga-maan begitu berkembang pesat. Lahirnya gerakan pembaharuan, itu tidak dapat dipisahkan dari motivasi dan pergesekan antara penganut tarekat ini. Penulis Belanda Dr. Karel A. Stenbrink menggambarkan konflik antara dua tarekat ini tidak sekedar perbedaan tetapi sudah tingkat perselisihan. Ia memperkuat pendapatnya dengan mengutipkan keterangan Hamka dalam bukunya Ayahku:
“Yang memimpin gerakan tasawuf di Ulakan ialah murid-murid keturunan Burhanuddin, atau yang menerima “khalifah” daripadanya. Dan yang memimpin paham Cangking ialah ulama yang terkenal yaitu Tuanku Nan Tuo. Padahal Tuanku Nan Tuo di Cangking pernah juga berguru pada seorang ulama yang beguru di Ulakan pada Syeikh Burhanuddin yaitu Tuanku Nan tuo di Mansiangan. Besar juga kemungkinan bahwa pertentangan Cangking dan Ulakan ini karena perbedaan nilai-nilai adat dari kedua belah pihak. Ulakan adalah termasuk rantau. Di sana masih banyak pengaruh Aceh. Di sana dipandang bahwa adat Minang-kabau belum dapat diperbaiki sama sekali oleh Islam.[3]
Perbedaan ulama penganjur Tarekat di Minangkabau pada abad ke-19 membawa ekses pada pecahnya kesatuan gerak mere-ka dalam menghadapi kalangan adat yang  belum sepenuhnya menerima dan mengamalkan ajaran Islam. Praktek-praktek adat dan kebiasaan yang sinkristik dan berbau kemusyrikan belum lagi dapat dihapuskan dari masyarakat, seperti kebiasaan mengadu ayam, minuman tuak, berjudi dan paham animisme masih saja menjadi kebiasaan masyarakat. Lebih dari itu, perselisihan dalam bidang tarekat ini juga menguatkan perpe-cahan antara sesama ulama, khususnya antara ulama yang berkeinginan untuk memajukan umat Islam dengan ulama konservatif, yang cenderung memanipulasi umat untuk kepen-tingan golongan atau pribadi, seperti kepentingan penguasa dan ekonomi lama itu sendiri. Persaingan ulama tarekat ini begitu memuncak sejak masa Jalal al Din yang naik pamornya pada tahun 1860-an dia adalah orang yang luar biasa giat dan aktif menyebarkan Tarekat Naqsabandiyah di Minangkabau pada masa itu.
Keunggulan Tarekat Naqsabandiyah dalam memperoleh pengikut dan pengaruh di Minangkabau pada akhir abad ke-19 itu telah melahirkan pusat-pusat pengajian Naqsabandiyah dan tempat-tempat Suluk di beberapa daerah seperti Pasaman, Agam, Lima Puluh Kota, Tanah Datar,  Pariangan,  Pesisir  Selatan, Solok, Sijunjung dan beberapa daerah di Padang. Sedangkan Tarekat Syathariyah tidak begitu dapat meluaskan sayapnya keluar dari pusatnya di Ulakan Pariaman, kecuali pada daerah yang terbatas sekali di Agam dan Tanah Datar. Pada waktu itu pusat-pusat Suluk atau surau Naqsabandiyah yang terkenal adalah Cangking, Taram, Batu Hampar, Barulak, Mungka, Halaban, Kumpulan dan Bonjol. Pusat-pusat suluk atau surau ini dibimbing oleh ulama-ulama yang mumpuni dan nantinya banyak memain-kan peran dalam pembaharuan di abad ke-20 sesudahnya.
Keberhasilan Naqsabandiyah menggantikan peran Tarekat Syathariyah bukan saja karena faktor kelemahan ulama Syatha-riyah dan pengikutnya dalam melafalkan bahasa Arab dan paham lainnya. Aspek lainnya, adalah kerena aliran ini berbeda menge-nai sumbernya, dari mana Syeikh mengambil tarekatnya. Syeikh Burhanuddin mempelajari Tarekat Syathariyah dari Syeikh Abd. al Rauf di Aceh, Abd al Rauf menerimanya dari Ahmad Qusyasi di Mekah. Tidak seorang pun ulama Syathariyah Minangkabau menerima langsung tarekatnya dari Mekah. Lain halnya dengan Tarekat Naqsabandiyah meskipun mereka menerima tarekat ini dari ulama Minangkabau, Syeikh Ismail Simabur, tetapi beliau ini menerima tarekat melalui Syeikh Jabal Qusyasyi, di Mekah atau Syeikh Muhammad Amin Ridhwan di Madinah. Begitu juga Syeikh Abdur Rahman Simabur, Syeikh Ibrahim kumpulan, Syeikh Said Mungka, Syeikh Khatib Ali Pesisir Selatan, Syeikh Said Bonjol. Semua ulama ini belajar dan menerima tarekat Naqsabandiyah di Mekah dan Madinah, yang memang memiliki otoritas keilmuwan Islam.
Bersamaan dengan popularitasnya yang dimiliki Tarekat Naqsa-baniyah, muncul pula Tarekat Samaniyah, yang mulanya didirikan oleh Syeikh Muhammad Saman al Qadiry wafat di Madinah tahun 1720. Tarekat ini secara pasti tidak  diketahui siapa pembawa pertama ke tanah Minangkabau di akhir abad ke 19 ini, yang dapat diketahui ia mula-mula dikembangkan oleh Syeikh Muhammad Said Bonjol di Desa Padang Balubus. Syeikh Said Bonjol pernah menjadi guru dari Syeikh Ibrahim Kumpulan, orang Sumatera utara yang pernah menetap di Bonjol. Tidak jelas bagaimana proses belajarnya siapa saja yang belajar bersamanya dan kapan itu terjadi tidak ditemukan data yang akurat.
Pada akhir abad ke-19, di Desa Kumango Tanah Datar berdiri suatu perguruan Tarekat Samaniyah, dipimpin oleh Syeikh Abdurrahman al Khalidy, yang wafat pada tahun 1931 dalam usia  100 tahun lebih. Menurut keterangan yang diperoleh dari pendu-duk setempat dan pengikutnya yang masih ada. Syeikh Abdur-rahman mempelajari tarekat ini dari Syeikh Muhammad Saman al Qadiry. Murid-murid yang pernah mempelajari tarekat ini dari Syeikh Aburrahman Kumanggo, antara lain: Syeikh Muda Abdul Qadim dari Balubus, di daerah Lima Puluh Kota dan Syeikh Ahmad dari Barulak Tanah Datar.
Perkembangan lebih lanjut dari Tarekat Samaniyah ini lebih mengarah kepada bela diri dan permainan, yang dikenal dengan Silat Kumanggo, nama pusat Tarekat Samaniyah dan juga kesenian Debus, sedangkan dalam bentuk ibadah ia sedikit berbeda hanya dalam zikirnya yang keras, yang akhirnya menjadi-kan penzikir itu kesurupan. Pada akirnya Tarekat ini tidak begitu meluas di Minangkabau dan ia tidak konfrontatif dengan tarekat lainnya. Sikap dan cara ibadah serta penga-malan  yang tidak konfrontatif itu menjadikan Tarekat Samaniyah tidak saling bermusuhan dengan pihak lainnya.

 

 

MINANGKABAU

       
Penamaan Minangkabau dalam sejarah dan cerita yang hidup dalam masyarakat sangat beragam sekali. Sejak dari cerita  tambo, kaba dan cerita rakyat  sampai tulisan ahli sejarah banyak mengaitkan nama Minangkabau  dengan  kisah-kisah akan keberanian dan kehebatan nenek moyang orang Minangkabau, seperti keberhasilan mereka mengalahkan kerbau Majapahit melalui  strateginya mengadu kerbau kecil yang sudah di pasang tanduk besi dengan kerbau besar yang dibawa pasukan Majapahit. Namun, ada  informasi yang bisa dipercaya bahwa sejarah Minangkabau menurut Joustra dalam bukunya “Minangkabau, overzicht Van Land, geschiedenes en volk” halaman 41-44. “Asal mula nama daerah ini, yaitu Minangkabau” pun berada dalam kegelapan “ Di antara keterangan-keterangan  yang paling banyak mengandung kemungkinan  kebenaran, adalah dari vandertuuk, yang berpendapat, bahwa perkataan itu adalah berasal dari Phinangkhabu “tanah asal”. Sedangkan perkataan lain :”menang kerbau” atau “Mainang” (mengembalakan) kerbau  ini adalah keterangan orang banyak saja.[4]
Minangkabau  dalam konteks sejarah dan realitas masyarakat adalah suatu konsep yang  utuh dan lengkap. Dari segi sosial budaya, Minangkabau melampaui jauh dari Provinsi Sumatera Barat sekarang. Sebab, pemakai budaya Minangkabau  jauh melampui teritorial  wilayah Sumatera Barat. Ia meliputi daerah  antara lain; sebahagian  penduduk Provinsi Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Utara, dan malah sampai ke negara tentangga  Negeri Sembilan di Malaysia. Sejarah Minangkabau masa lalu dan dibuktikan  oleh realitas kawasan budaya dan suku Minangkabau saat ini  terdiri dua bahagian  yaitu  :Pertama, Luhak Nan Tigo, Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota. Kedua, Rantau terdiri: Kampar, Siak, Rokan, Bonai, Bila, Kuala, dan Asahan   yang kemudian menjadi bahagian wilayah Sumatera bahagian Timur. Indragiri   masuk  keresidenan Riau, Batanghari dan  Jambi masuk keresidenan Jambi, Muko-Muko, Majuto, dan Bangkahulu termasuk keresidenan Bengkulu. Natal, Sibolga, Barus termasuk keresidenan Tapanuli, Sinkel,Trumon Tapak Tuan, dan Meoulabuh di pantai barat Aceh  masuk bahagian keresidenan  Aceh. Begitu juga rantau Naning di Malaka dan juga Negeri Sembilan  terakhir jadi daerah taklukan Minangkabau dengan lenyapnya dinasti Pagaruyung pada tahun 1809[5]
Bergantinya nama Minangkabau menjadi Sumatera Barat, seiring dengan masuknya kolonial Belanda, yang kemudian menyebut daerah ini sebagai Residentie van Sumatra Westkust. Penamaan ini kemudian terus dipergunakan pada masa Indonesia merdeka, meskipun batas-batas wilayahnya mengalami pergeseran. Apa yang sekarang dikenal sebagai Sumatera Barat jauh lebih kecil dari Minangkabau.[6] Batas-batas propinsi yang kini berlaku tidak sepenuhnya mengikuti keluasan penyebaran orang Minangkabau dan pengaruh kulturalnya. Sebagai salah satu dari 30  propinsi di Indonesia luas daratan Sumatera Barat lebih kurang 1/48,2 (sekitar 42.297.30 km2) dari keseluruhan luas daratan Indonesia (sekitar 2.026.528 km2).[7]  Tetapi setelah era kemerdekaanpun, Sumatera Barat masih sering disebut dengan “Minangkabau”, dengan letak wilayah: di sebelah Utara berbatasan dengan propinsi Sumatera Utara; di sebelah Timur berbatasan dengan propinsi Riau; di sebelah Selatan berbatasan dengan  propinsi Jambi dan Riau; dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia[8]
Tentang seberapa jauh luas wilayah dan batas-batas Minangkabau dalam konteks sejarah diungkap dalam tambo dan bidal adat bahwa wilayah terorital  Minangkabau  sajak dari riak nan badabua, siluluak punai mati, sirangkak nan badankung, buayo putiah daguak. Taratak aier hitam, sampai ka durian nan ditakuak rajo  . Versi lain menyebutnya dari Riak Nan badabur, sehiliran Pasir Panjang, yaitu dari Bayang  sampai Sikilang Air Bangis; Gunung Malintang hilir di Pasaman, Rao dan LubukSikaping, Lalu ke Batu Bersurat, Sialang Balantak Basi, Gunung patah sembilan, lalu ke Durian di tekuk raja.[9] Penulis buku Kato Pusako mengambarkan tentang Minangkabau  “Sajak durian di takuak raja, Sialang balantak basi, buayo nan putiah daguak, Sirangkak nan badangkang, Sampai taratak air hitam, Sampai riak nan badabua, Sampai bateh Indropuro , Sampai ka siak Indrogiri, Hinggo sipisak pisau hanyuik,  sampai sikilang air bagis” [10] .Batas yang dipakai dalam buku  Kato Pusako ini mengabungkan pendekatan budaya dengan teritorial. Akan tetapi, secara  meyakinkan,  batas wilayah Minangkabau  dalam kontek sejarah dan sosial budaya   belum dapat ditunjukan.    Akan  tetapi,  interpretasi tentang kata-kata ombak nan badabua itu diperkirakan adalah  lautan Hindia,  ke utaranya disebut  Sikilang air Bagis, artinya berbatasan dengan  Tapanuli Sumatera Utara, Taratak Air Hitam, yaitu batas ke Timur sampai ke daerah Indragiri di Riau, sedangkan  Durian di takuk raja adalah batas arah ke tenggara  berbatasan dengan propinsi Jambi. Pada daerah yang berada  dalam batas-batas tersebut memang corak sosial budaya masyarakat  memiliki kesamaan dengan Minangkabau asli di Darek Luhak Nan Tigo, pusat alam Minangkabau.
            Perbedaan  pengertian tentang luas dan daerah  Minangkabau  masa lalu  disebabkan oleh perbedaan  para ahli dalam menempatkan mana yang dimaksud dengan Minangkabau, apakah Minangkabau dalam artian daerah asli   yaitu Luhak Nan Tigo  atau juga termasuk daerah rantau. Bila rantau  dimasukan sebagai Minangkabau maka  daerah ini  meliputi  Sumatera Tengah  bahkan sampai ke Negeri Sembilan di Malaysia. Pembatasan dan pengecilan wilayah Minangkabau telah direncanakan sedemikian rupa oleh penjajah Belanda. Misalnya, seorang peneliti Belanda menuliskan bahwa daerah Minangkabau  terletak sekitar dataran tinggi  yang terbentang diantara onggokan Bukit Barisan  bahagian tengah yang membujur dari utara ke selatan  pulau  Sumatera  yang dilingkari oleh tiga buah gunung yaitu Merapi, Singalang dan Sago. Ini tentu artinya, Minangkabau adalah daerah asli saja yaitu darek, sedangkan rantau adalah daerah yang berdiri sendiri pula. Disamping itu, ada lagi informasi  penulis penjajah  bahwa daerah Minangkabau adalah kawasan yang  berada pada ketinggian  sekitar 300 sampai 900 meter di atas permukaan laut, dengan luas wilayahnya lebih kurang  42.000 km persegi , yang berarti 11 %(persen)  dari luas pulau Sumatera.[11]  Ada pula yang menyebutkan bahwa wilayah Minangkabau  seluruhnya lebih  kurang 18.000 mil bujur sangkar, kurang 3 % dari seluruh wilayah Indonesia.[12]
Pembahagian wilayah dalam kesatuan  politik,ekonomi dan sosio-kultural lazim dikenal dengan  Darek, Pesisir dan Rantau. Darek adalah  daerah pusat Minangkabau yang terdiri dari tiga luhak, Pesisir merupakan wilayah yang berada sepanjang pantai sejak Pasaman, Pariaman  sampai Painan. Sedangkan rantau wilayah  dibawah  pengaruh kerajaan Minangkabau dulunya, seperti Batanghari, Kerinci  di Propinsi Jambi, Taluk Kuantan  di  propinsi  Riau  sekarang. De Jong , menetapkan bahwa   daerah Minangkabau itu terdiri dari   dua lingkungan   wilayah yaitu :(1) Minangkabau asli,  yang disebut juga dengan darek yang terdiri dari tiga luhak,  yaitu;  Luhak Agam,  Luhak Tanah Datar dan Luhak Limo Puluh Kota. (2) Daerah Rantau, yaitu perluasan Minangkabau yang berbentuk koloni dari setiap luhak tersebut diatas, yaitu : (a)  rantau luhak Agam yang meliputi  daerah dari pesisi barat   sejak Pariaman sampai  Air Bangis, Lubuk Sikaping dan Pasaman. (b) rantau Luhak Tanah Datar  meliputi Kubung tigo Baleh, Pesisir Barat dan Selatan dari Padang  sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh. (c) rantau luhak Limo Puluh Kota yang meliputi Bangkinang, lembah Kampar Kiri dan Kampar kanan serta Rokan.[13]
Dalam pengertian tradisional rantau dipandang sebagai wilayah kedua atau disebut oleh penulis asing dengan istilah “kolonisasi “ bagi orang  Minangkabau yang berada di pusat (Darek). Di sini dipahami rantau sebagai wilayah terpisah dari darek dari segi kewenangan  atau kekuasaan , tetapi tetap berada dalam satu wilayah  kultural. Pepatah menyebutkan “ Darek Berpenghulu, Rantau Barajo”. Di Pusat (Darek) pemerintahan dikuasai oleh penghulu, sementara di rantau pemegang kekuasaan adalah Raja. Implementasi dari kekuasaan penghulu di Darek  ada pada Nagari,  sebagai sebuah pemerintah  yang berdiri sendiri. Masing-masing nagari  mengatur urusannya  dan kemudian ia berada dalam satu Dewan  di bawah penghulu nagari. Hasil  keputusan bersama yang dihasil  Dewan Nagari ini  yang akan menjadi aturan dalam setiap nagari. Sementara, di rantau raja memiliki kewenangan yang lebih luas. Raja merupakan penguasa    yang mendapat hak ulayat dari pemerintahan pusat di darek. Dengan kedudukan yang kuat dari setiap nagari dan tidak adanya kekuatan pusat yang dapat mengontrolnya, maka nagari oleh peneliti sering diidentikan dengan republik-republik  kecil.
Bentuk pemerintahan nagari di Minangkabau dengan segala pranata yang mendukungnya  jauh sebelum adanya  Raja di Minangkabau telah ada dan memegang kekuasaan secara riil dalam sistem hidup bermasyarakat. Dalam tambo diceritakan bahwa   orang pertama yang memimpin alam Minangkabau ada-lah  dua orang yang sangat bijaksana, yaitu  Datuk Katumang-gungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Kedua orang ini adalah bersaudara seibu, berlainan ayah. Kedua pemimpin legendaris Minangkabau ini diceritakan mewariskan dua sistem budaya masyarakat yang berjalan menurut kaidah-kaidahnya masing-masing. Kedua sistim budaya atau adat ini disebut dengan laras.  Laras adalah  wilayah budaya  yang dipimpin  dalam dua  sistim adat yakninya  sistim Datuk Katumangungan yang dinamakan  Laras Koto Piliang. Dan  sistim Datuk Perpatih Nan Sabatang dinamakan Laras Bodi chaniago. Perbedaan pokok pada dua kelarasan ini hanyalah dalam menentukan kedudukan Raja. Bagi laras Koto Piling Raja itu memimpin seluruh alam Minangkabau, sedangkan oleh Laras Bodi Chaniago, Raja hanya ada di rantau, sedangkan Luhak  dipimpin penghulu, raja hanya  sebatas simbol belaka. Kedua  kelarasan ini pada dasarnya menganut sistim demokrasi, hanya saja laras Koto Piliang lebih sempit dan cendrung otokrasi, sedangkan laras Bodi Chaniago lebih luas dan demokratis.
Dalam perkembangan selanjutnya, kedua pemimpin laras tersebut membagi alam Minangkabau, guna menentukan wilayah  kekuasaan masin-masing. Bodi Chaniago memiliki wilayah keuasaan di Luhak Agam dan Koto Piliang  berkuasa di Luhak Lima Puluh Kota, sementara Luhak Tanah Datar adalah daerah campuran kedua laras,  karena ia merupakan pusat kekuasaan alam Minangkabau.  Pada akhirya,  nama kedua laras tadi berobah menjadi  empat suku induk di Minangkabau, yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago. Masing-masing suku itu dipimpin oleh seorang Datuk atau Penghulu suku. Selanjutnya  komonitas yang mendiami wilayah baru dapat dikatakan nagari kalau sudah didiami oleh keempat suku itu. Bentuk kolektif dari empat suku itulah  yang menjadi modal dasar didirikanya  suatu nagari.[14]
Masing-masing nagari dipimpin oleh orang empat jenis, (Penghulu, Manti, Malin dan Dubalang).
Penghulu adalah  pimpinan  adat  dalam  kaum atau suku nya  yang  selalu  berusaha untuk kepentigan  anak  kemenakannya  dan masyarakat. Penghulu  diangkat atas  kesepakatan kaum,  yaitu orang yang  dipilih oleh anak kemena-kannya laki-laki atau perempuan. Sesuai  dengan  pepatah adat “ Maangkek panghulu  sakato kaum, maangkek  rajo  sakato alam” ( mengangkat penghulu  disepakati  oleh kaum  dan mengankat raja disepakati oleh masyarakat umum).  Penghulu  memiliki kata  putus (mementukan  keputusan  terhadap anak kemenakan.  Prinsip kepemimpinannya ganting  putuih  biang  cabik “(kata putus  ditangannya) dan ia  berfungsi sebagai  pemegang kebenaran.
Manti asal katanya dari mentri, yaitu orang -orang  yang dipercaya  membantu penghulu  dalam  kaumnya. Dalam adat Minangkabau  di-sebut  manti “permato nagari” (cerminan  nagari) sebagai mediasi  antara penghulu  dengan kemenakannya, atau  ulusan jari  sambungan lidah oleh penghulu, tapi  adakala-nya  manti  dalam s uku tertentu tidak  diadakan. Manti adalah  orang  cerdik  pandai yang  dipercayai oleh  seorang penghulu  dan  diterima  oleh masyarakatnya. Prinsip  kepemimpinan  dalam  adat (kato mati  kato salasai (  keputusan manti  menyelesaikan masalah),  karuh janih  kusuik salasai (yang bersengketa  menjadi  jernih, yang kusut menjadi selesai).  Dengan  demikian manti  berfungsi  sebagai  penyuluh  hukum,  seperti hukum adat, hukum agama  dan  hukum yang ada  dalam  masyarakat. Di  sini manti  disebut  memegang kata  pusaka.
Malin adalah sebutan untuk alim  ulama,  sebelum Islam masuk  ke  Minangkabau disebut  dengan pandito.  Malin  adalah  jabatan  fungsional dalam suku  yang  dipercayai oleh  kaum, penghulu  dan masyara-katnya. Malin inilah yang  mengatur  kegiatan keagamaan pada  sukunya  masing-masing  melalui  surau yang  dibangun oleh suku tersebut. Malin  sekaligus  ber-fungsi sebagai pelaksana  pendidikan  keagamaan, dakwah dan  kegiatan  keagamaan  lainnya  dilingkungan suku  tersebut.  Prinsip  kepemimpinan malin adalah  “  kata malin kato hakikat “ ( kata  malin adalah  kata yang sebenarnya).  Malin  berfungsi  sebagai  suluah  bendang  dalam  nagari, tahu halal  dengan haram, tahu  sah  dengan  batalnya. Malin biasanya  lebih banyak  mengurus masalah masalah agama Islam, seperti  mengurus  nikah,  talak,  ruju’, kelahiran, dan kematian.  Infak,  zakat  dan kegiatan masjid/surau  yang  di bawah  sukunya.
Dubalang  atau  disebut  juga hulubalang  adalah jabatan fungsional  adat dalam kaum yang  dipilih oleh  kaum dan  penghulu,  bertang-gungjawab kepada penghulu.  Dubalang  ber-fungsi menjaga  keamanan,  pengawal  pemimpin,  membantu tugas-tugas  penghulu  untuk menjaga  keamanan nagari,  bahkan di bidang  keamanan ini ia  boleh bertindak  sebagai seorang  polisi. Prinsip  kepemimpinan  dubalang adalah  “  kata  dubalang kata  mandareh, lunak  disudu,  kareh  ditakik) Kata  dubalang   kata  keras,  lunak dapat  diikuti,  keras  juga diikutinya).
Dalam tambo diceritakan pula bahwa nenek moyang orang Minangkabau  membangun nagari pertama di lereng gunung Merapi, yaitu Pariangan Padang Panjang. Setelah kemudian mereka berkembang biak, maka berdirilah nagari-nagari selingka-ran gunung Merapi dan sealiran Batang Bengkaweh, yang disebut juga dengan Pakan Tuo.  Hal ini disebut dalam pepatah adat :
Dari Mana titik pelita, dari semak turun ke padi
Dari mana asal nenek moyang kita, dari Puncak Gunung Merapi.
Mengenai  asal-usul nenek moyang orang Minangkabau dari puncak gunung merapi  semua tambo menceritakan demikian adanya. Pada suatu ketika bumi  bersentak naik dan lagit  bersentak turun, datanglah keturunan  Raja Iskandar Zulkarnain yaitu Sri Maha Raja  Diraja dan mendarat di puncak gunung merapi. Di sana ia kawin dengan Puti Indo Jelita, adik perempuan dari ninik Datuk Suri Dirajo. Dari  perkawinan itu lahir Datuk Katumanggungan. Kemudian setelah Sri Maharaja Diraja meninggal, Indo Jelita dikawini oleh seorang   penasehat Sri Maharaja, yaitu Cati Bilang pandai. Dari perkawinan kedua ini lahirlah Datuk Perpatih Nan Sabatang dan beberapa orang putra putri lagi. Putra putri Indo Jelita itulah  yang kemudian menjadi cikal bakal nenek moyang orang Minangkabau.
Informasi lain menyebutkan Nenek moyang suku Minangkabau berasal dari percampuran antara bangsa Melayu Tua yang telah datang pada zaman Neoliticum dengan bangsa Melayu Muda yang menyusul kemudian pada zaman perunggu. Ke dua bangsa ini adalah serumpun dengan bangsa Astronesia.[15] Adalah kenyataan bahwa berita tertulis tentang Minangkabau baru ada sejak abad  ke-7 dan karena itu priode  antara abad pertama  masehi hingga abad ke ke-7 dinamakan dengan Zaman Mula Sejarah Minangkabau ,yang didalamnya meliputi dua priode, yaitu Mula Sejarah Minangkabau dan    Priode Minangkabau Timur. [16]

Selanjutnya keturunan ini menguasai daerah baru dan menyusun masyarakat dengan mengikuti garis keibuan. Maka selanjutnya  garis keturunan di Minangkabau mengacu kepada haris keturunan ibu, atau matriarchaat
Sejalan dengan  perkembangan masyarakat, maka  kemudian dari perkampung sederhana  disusunlah masyarakat dalam kelompok yang  disebut dengan  taratak, koto dan nagari  berdasarkan suku dan daerah tempat tinggal. Sedangkan dari segi sosial budaya, maka masyarakat  disusun pula pada suatu kepemimpinan yang berjenjang  yaitu, tunggai, mamak rumah,  kapala suku dan penghulu suku. Untuk mengatur bagaimana masyarakat hidup maka ditetapkan hukum-hukum tak tertulis yang mengatur tentang sistim hidup bermasyarakat yang kemudian dinamakan dengan hukum adat. Model seperti diatas terus berkembang pada Luhak nan tiga. Ketika, masyarakat bertambah ramai juga maka mereka berusaha mencari wilayah baru  untuk anak kemenakan mereka, itulah yang kemudian dikenal dengan rantau. Kalau pada tahap awal konsep rantau hanya sebatas daerah sekeliling alam minangkabau, maka  dalam perkembangan selanjutnya konsep rantau mengalami perluasan arti,  yaitunya keseluruh  daerah di mana saja di dunia ini  menjadi daerah rantaunya orang Minangkabau.  Budaya merantau sebagai pengembangan  diri telah menjadi ciri khas etnis Minangkabau sejak lama,  seperti yang di tunjukan oleh bidal adatnya :
“ Ka ratau madang di hulu,  babuah babungo balun
ka rantau bujang dahulu,  di rumah baguno balun”,
Artinya setiap pemuda di dorong untuk merantau karena di tempat kelahirannya ia belum banyak bisa digunakan (bermanfaat banyak). Maka dengan adanya perobahan konsep merantau dengan demikian juga membawa pengaruh kepada makna  Minangkabau, hal ini lebih disebabkan  dengan   pola hidup masyarakat Minang yang dikenal dengan merantau.
Dalam perjalanan sejarah alam Minangkabau selanjutnya,  meskipun tidak banyak fakta yang dapat dikemukakan ada beberapa  pendapat yang menyebutkan bahwa priode awal dari sejarah Minangkabau  berada dalam kekaburan, kecuali yang terdapat dalam beberapa prasasti yang mengungkapkan tentang adanya kerajaan Pagaruyung  dengan rajanya Aditiyawarman yang memerintah semenjak tahun 1356 Masehi[17] .Pendapat lain menyebut bahwa Aditiyawarman  memerintah dari tahun  1347-1373 masehi, ia  adalah mantan Punggawa atau Diplomat Majapahit datang dan diangkat menjadi raja  Minangkabau. Dalam kekaburan sejarah tersebut  tambo,  pepatah-petitih, bidal, pantun dan kaba serta  cerita rakyat yang senantiasa terpelihara  secara turun temurun, dari generasi ke generasi secara lisan  adalah  bahan pokok sejarah yang dapat dijadikan dasar  untuk menuntun peneliti mengetahui asal-usul Minangkabau.  Mengenai pendapat bahwa kebenaran  tambo dan kaba  hanya sekitar 2 persen saja, namun yang pasti, berkat  bantuan  dan usaha penyelidikan  terhadap peningalan kuno, maka tambo dan kaba tetap  merupakan sumber berharga  dalam mengkaji sejarah Minangkabau. Mengenai asal-usul Tambo diperkirakan   telah berawal sejak masa awal kedatangan Islam,  atau bahkan lebih awal lagi,  namun versi yang tertulis ditemukan semuanya berasal dari abad ke–19, terutama setelah perang Paderi berakhir. Meskipun terdapat berbagai versi tambo, namun kesemuanya memperlihatkan sikap kesejarahan yang sama, yang secara tegas mempelihatkan dua hal yang menarik. Pertama, “Alam Minangkabau” digambarkan  sebagai terdiri atas dua unsur pokok yang satu menetap dan merupakan wilayah asli yang disebut dengan Luhak Nan Tigo atau disebut juga dengan darek dan yang lain wilayah yang berubah, dinamis, terus berubah dan bergerak, itulah yang kemudian dinamakan dengan rantau.  Kedua, tambo juga melihatkan perjalanan sejarah sebagai sebuah irama yang bercorak spiral,  bukan siklis, yang akhir kembali ke asal, tidak pula eksalogis  dan liniar, yang akhirnya menuju tingkat tertinggi, sebagaimana yang diberikan Islam, tetapi perjalanan dan lingkaran yang mangkin membesar  tanpa terlepas dari lingkaran awal yang terkecil. Dari dua pesan tambo, maka tidaklah  sulit memahami  bahwa dinamika dan “kemajuan” Minangkabau adalah suatu proses sejarah panjang,  yang mengisyaratkan pemikiran kritis, dinamis dan selalu  berusaha  mengadakan perubahan dalam menjaga eksistensinya. 
Kegelapan sejarah Minangkabau pada priode awal itu bukanlah suatu alasan untuk mengatakan bahwa kebudayaan awal Minangkabau tidak dapat diketahui dan dijadikan pedoman oleh masyarakatnya.  Data sejarah yang diungkap tambo bila dilakukan penafsiran silang antara satu tambo dengan tambo yang lain, kemudian dihubungankan dengan kenyataan dan fakta sejarah, seperti pantun, pepatah, petitih ,bidal yang masih menjadi pegangan masyarakat Minangkabau sekarang, maka tidak ada alasan untuk menyebut bahwa tambo sebagai sumber adat   tidak rasional dan bersifat fiktif. Rasionalitas tambo sebagai sumber sejarah dan informasi tentang kebudayaan Minangkabau, akan sulit ditunjukan bila dibaca  menurut apa adanya, seperti layak membaca cerita atau berita. Akan tetapi, bila dibaca dengan  cermat dan mendalam, maka tambo yang tidak pernah  dituliskan siapa penulisnya dan  mengunakan bahasa semiotika dalam bentuk perlambang, kias dan banding yang sukar ditangkap   menurut teksnya, akan mendatangkan arti yang memadai dan sesuai pesan yang dimaksudnya.. Pemaknaan itu bisa di dapat dengan membanding  beberapa tambo yang ada, kemudian mencari akarnya pada  pepatah-petitih    yang masih jadi pedoman budaya  masyarakat. Lebih dari itu, dapat juga  dipedomani bahwa dalam praktek penulisan sejarah di Barat dan Timur , semua informasi    sejarah dapat dijadikan sumber awal yang pada akhirnya akan diuji validitas data tersebut dengan data lain yang sama. 
Konsepsi yang terdapat pada tambo lalu disampaikan secara oral dari ninik turun ke mamak, dari mamak turun ke kemanakan, dari generasi ke generasi berikutnya,  pewarisan yang oral dan subyektif ini tentu akan memberikan peluang masuknya  kepentingan dan pesan setiap orang yang menyampaikannya. Kekhawatiran  terhadap adanya pendapat  dan perasaan pribadi yang dimasukkan ke dalam tambo dan kaba itu  tidaklah akan mengurangi arti pentingnya. Dari tambo dan kaba yang  bersifat lisan itu,  akhirnya dituliskan  riawayat Minangkabau, setelah nenek moyang orang Minangkabau mengenal tulisan  Arab sesudah masuknya Islam ke Minangkabau.  Hal ini, terbukti dari tambo asli ditulis dengan tangan dengan tulisan arab  berbahasa Melayu. Pengungkapan tentang Minangkabau menjadi bahagian yang penting dalam tambo, sejak asal-usul keturunannya, negeri yang mula ditempati sampai kepada bagaimana mereka mengatur kehidupannya. Aturan tentang kehidupan itulah yang kemudian dikenal dengan adat alam Minangkabau.
Minangkabau dengan kebudayaannya  telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya, seperti yang sejalan dengan  filosofi adatnya “Alam Takambang jadi guru”. Oleh karena itu pula  maka pengertian Minangkabau sekarang, termasuk yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah lebih menukik kepada aspek sosial budaya,  ketimbang aspek daerah atau wilayah. Kenyataan ini,  telah ada sejak  Belanda di  abad  19  menguasai Minangkabau, maka dengan berbagai   kebijakan politik   ia berhasil memecah kesatuan wilayah alam Minangkabau, kondisi seperti itu dilanjutkan  oleh pemerintah Repoblik Indonesia  setelah merdeka sampai saat ini melalui undang-undang Pemerintahan Desa, sehingga secara tidak langsung mencabut akar historis kehidupan bermasyarakat Minangkabau melalui  lembaga  nagari.

Islam di  Minangkabau

Sulit dipastikan, kapan sebenarnya Islam masuk ke kawasan ini. Ada yang mengatakan pada abad ke -12, ada pula pada abad ke -14 dan bahkan ada yang menyimpulkan bahwa suatu almanak Tiongkok menyebutkan bahwa sudah didapatinya satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera bahagian barat pada tahun 674 M, maka dengan demikian Islam telah masuk ke daerah ini sejak tahun 674 Masehi atau abad pertama  hijriah.[18] Tapi, M.Jurstra dalam bukunya, Minangkabau,Overzicht van Land,Geshiede en Volks memastikan bahwa Islam tidak berlaku di Minangkabau sebelum tahun 1550M. Karena, perutusan orang-orang Minangkabau yang menghadap Albuerque di Malaka pada tahun 1551 masih belum beragama.begitu juga Rue de Ariro, seorang kapitan dari Malaka tahun 1554 menyebut orang-orang Minangkabau yang belum beragama.[19] Berbagai versi sejarah tentang Islam di Minangkabau, namun yang lebih bisa diterima oleh banyak pihak bahwa Islam baru dikenal oleh masyarakat Minangkabau dalam arti sebuah agama diperkirakan sekitar tahun 1600 Masehi
Pendekatan persuasif, ekonomi dan sosial budaya (adat istiadat) yang  telah lebih dahulu menjadi filosofi dan pandangan hidup masyarakat, secara perlahan tapi pasti Islam dapat mengeser posisi kepercayaan dan pandangan hidup animisme dan dinamisme menjadi  aqidah Islam yang benar. Bukanlah hal yang mudah untuk menetapkan faktor apa yang paling dominan dan menetukan sehingga Islam begitu cepat dan mudah diterima masyarakat di Nusantara. Ada yang memberikan porsi pada faktor pendekatan yang dipakai oleh penyiar Islam dengan cara damai, toleran dan penuh pengertian. Di sisi lain memberikan penekanan pada ajaran Islam itu sendiri. Ajaran islam yang disodorkan kepada masyarakat lebih banyak aspek mistis atau tasauf ketimbang aspek hukum. Artinya  fungsi ganda yang dimiliki penyiar Islam sebagai pedagang dan juga guru tarekat ternyata memberikan ruang yang lebih luas bagi tumbuhnya suasana yang kondusif bagi kejiwaan masyarakat, yang sebelumnya dipengaruhi dengan mendalam oleh agama Hindu dan Budha dan kepercayaan lokal. William Marseden, dalam bukunya, The History of Sumatera, mengakui betapa cepatnya proses pengislaman itu. Ia heran melihat masyarakat Minangkabau telah sepenuhnya memeluk Islam, ketika ia mengunjugi daerah tersebut pada tahun 1778. Padahal dalam sebuah manuskrip tahun 1761 di gambarkan bahwa masyarakat di sana kebanyakan masih menyembah berhala. Hanya, sekalipun telah memeluk Islam, tambah Marsden, takhyul dan praktek-praktek tidak Islami lainnya masih banyak dilakukan masyarakat Minangkabau pada waktu itu. Dan Syariat Islam seperti Shalat, Puasa, masih jarang dilaksanakan dan mesjid (surau) jarang dikunjungi, kecuali oleh para pemuka agama.[20]
Khusus fase awal Islam ke Minangkabau menurut suatu pendapat mengungkapkan bahwa penduduk asli telah diislamkan oleh pedagang-pedagang Islam yang berlayar dari Malaka menyusuri sungai Kampar dan Indragiri, pada abad 15 dan 16 M[21].   Pendapat ini sangat boleh jadi, bila memang Malaka waktu itu dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511 M, membawa akibat pindahnya jalan perdagangan melalui pantai barat pulau Sumatera. Pada sisi lain, kerajaan Pasai di Aceh yang telah bercorak Islam menanjak naik dibawah kekuasaan sultan Iskandar Muda tahun 1607-1638 M. membawa akibat dikuasainya kerajaan kecil Minangkabau[22] oleh kekuasaan Aceh. Dalam kondisi seperti ini menurut pendapat lain Islam mulai masuk dari kota-kota di pantai barat Sumatera menuju ke pedalaman Minangkabau.
Pada saat kebesaran kerajaan Pasai saudagar-saudagar Islam Aceh telah sampai ke pesisir barat pulau Sumatera yang  lebih dikenal dengan Minangkabau. Disamping berdagang mereka juga memperkenalkan agama baru yang  mereka anut, yaitu Islam. Penyebaran islam oleh saudagar-saudagar Aceh telah menganggu ketenangan Raja Adytiwarman yang menjadi Raja di Minang-kabau masa itu. Sehingga pihak Raja sering memboikot   perdangangan dengan pedagang Aceh. Akibatnya saudagar Aceh lebih mengkonsentrasikan perjuangannya pada masyarakat sepanjang rantau (pesisir lautan Indonesia.). Kejayaan kerajaan Aceh selanjutnya membawa pengaruh yang berarti bagi perluasan Islam di Minangkabau pada masa-masa berikutnya. Demikianlah juga halnya dalam wacana pemikiran  yang lekat dengan warna sufisme, yang secara secara signifikan mulai dirintis oleh nama-nama besar semacam Hamzah al-Fansuri, Syam al-Din al-Sumatrani, Nur al-Din al-Raniri, Abd al-Rauf al-Sinkili ikut mewarnai pemikiran keagamaan di Minangkabau pada masa awal.  Hamzah al-Fansuri dan Syam al-Din al-Sumatrani adalah dua tokoh yang banyak melahirkan karya besar dalam bentuk esai dan puisi dengan corak pemikiran Wahdat al-Wujud. Sedangkan dua ulama terakhir cenderung kepada pemikiran yang meng-harmonisasikan antara syari’ah dan tasawuf. Polemik tasawuf heterodok (wujudiah) dengan paham ortodoks yang berkembang luas di Aceh di abad ke 16 dan 17 Masehi. Kedua paham yang bertentangan dan mendatangkan konflik keagamaan dan  membawa korban besar  di  Aceh diatas, merembes dan  dapat ditemukan jejaknya pada Islam di Minangkabau. Namun, yang paling dominan, khususnya dikalangan pengikut tarekat adalah paham  yang mendamaikan antara tarekat dan syariat cukup mendapat tempat yang berarti hal ini. Kenyataan ini tetap diakui dan diyakini kaum tradisionil Minangkabau bahwa ulama yang menjadi sumber rujukan bagi mereka adalah seorang ulama besar, yaitu Syekh Abd. al-Ra’uf dari Sinkel (W. 1693) yang lebih terkenal sebagai Tuanku Syiah Kuala.  Keberhasilan Syekh  Abd. al-Rauf dalam  menempatkan diri sebagai ulama yang berwibawa dan berpengaruh di kerajaan Aceh serta mampu menyebarkan ajaran yang diperolehnya  ke daerah-daerah yang berada di bawah penguasaan Aceh, satu di antaranya daerah Minangkabau.
Pengaruh Al-Sinkili dalam  Pengembangan Islam di Minangkabau di teruskan oleh  murid-muridnya. Yang paling terkenal di antara para murid al-Sinkili di Sumatera bahagian barat adalah Burhan al-Din, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Ulakan. Burhanuddin Ulakan Pariaman bukan saja murid Al-Sinkili yang bertugas mengembangkan  agama Islam, bahkan ia juga mendapat  mandat dari Sultan Iskandar Tsani sebagai penguasa di wilayah  sepanjang pantai  barat, yang saat ini telah berada juga dibawah penguasaan kearajaan Aceh. Bukti bahwa Syekh Burhanuddin mendapat mandat penguasa dan pengembang Islam dari sultan Aceh ialah dengan ditemukan  cap stempel  kerajaan Aceh  pada peninggalan Syekh Burhanuddin berupa stempel berkepala sembilan .[23]
Di dalam mengemban tugas kerajaan dan penyebaran Islam   Syekh Burhanuddin menetapkan basis  kegiatannya dengan membangun surau di Tanjung Medan Ulakan. Surau Syekh Burhanuddin Ulakan pada akhirnya memainkan peran sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan yang pertama di Minangkabau. Pilihan Syekh Burhanuddin menjadikan surau sebagai basis pengembangan Islam di Minangkabau menjadi sesuatu yang sangat menentukan dalam kehidupan  keagamaan di Minangkabau untuk masa-masa berikutnya. Tak lama kemudian surau Ulakan termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Dalam perjalanan sejarah perkembangan  dan penyiaran  Islam  (dakwah Islamiyah) di Ranah Minangkabau selanjutnya surau menjadi ujung tombak dari proses Islamisasi di Minangkabau, karena surau bukanlah  sekedar tempat ibadah  semata, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga  kemasyarakatan.
Tradisi yang dikembangkan pada  surau di  Minangkabau  tampaknya mempunyai daya tarik tersendiri, Surau meskipun  dicap  sebagai “ lembaga tradisional” namun keberadaannya  tidak dapat  digantikan oleh  lembaga-lembaga  lain. Peranan surau sebagai pusat  pengembangan agama  dan  pemberdayaan masyarakat, merupakan  fakta yang tidak dapat dibantah. Bahkan eksistensinya merupakan  cikal bakal  dari  sistem penyiaran Islam melalui pendidikan model madrasah dan  sekolah. Sejarah  membuktikan bahwa  keberadaan surat erat kaitannya dengan masuk dan  berkembangnya  Islam  di Nusantara, khususnya Minangkabau. Surau Ulakan disamping menyiarkan Islam dalam bentuk pendidikan dan dakwah juga menjadi pusat kegiatan tarekat Syathariyah. Disamping itu, sekitar setengah abad dari  kejayaan Surau Syekh Burhanuddin Ulakan, maka sekitar paruh pertama abad XVII  terdapat pula beberapa surau di pedalaman Minangkabau yang menjadi pusat pengembangan Tarekat Naqsabandiyah, yang menonjol di antaranya di daerah Limapuluh Kota dan Tanah Datar. Di daerah pesisir dan Agam terdapat pulau surau tarekat Qadiriyah tapi tidak begitu di kenal seperti Tarekat Naqsabandiyah menunjukkan perkembangan positif Tarekat Syathariyah. Surau-surau Syarhariyah beralih fungsi menjadi pusat pengembangan Tarekat Naqsabansiyah, khususnya zikir dan suluk, misalnya Surau Cangking di Agam, Surau Silungkang, Surau Kasik di Singkarak, Surau Pasir di Agam dan Surau di Bonjol. Verkerk Pistorius memperkirakan bahwa sampai tahun 1869 kira-kira seperdelapan dari penduduk Minangkabau telah bergabung dengan Tarekat Naqsabandiyah
            Pengembangan Islam yang lebih terencana  baru dapat berlangsung setelah  Pusat Minangkabau (Darek)   mendapat tempat yang berarti  dalam sistem sosial kemasyarakatan  di rantau yaitu diterimanya surau (masjid)  sebagai salah satu persyarat sahnya satu nagari baru, disamping   setelah Islam masuk dan menjadi anutan oleh Raja Pangaruyung. Islamnya, pusat kerajaan Minangkabau berikut dengan segala pemimpin yang  memegang tampuk kekuasaan baru mulai muncul kepermukaan setelah  lumpuhnya Imperium Sriwijaya di Palembang dan Majapahit di Jawa diakhir abad ke 15 Masehi. Keruntuhan  kekuasaan Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara masa itu tidak dapat dipisahkan  dari pengaruh Islam di Nusantara karena semangkin kuatnya Kerajaan Malaka yang berdiri sekitar tahun 1400 Masehi dan satu abad kemudian ( abad ke 15 ) Kerajaan Malaka memainkan peranan penting sebagai pusat penyiaran Islam di Nusantara. Begitu juga halnya dalam lapangan ekonomi dan politik pengaruh kerajaan Malaka begitu luas, sampai ke daerah Kampar, Siak dan  Kerajaan Minangkabau. Pada masa Pemerintahan Sultan Mansursyah  Malaka mencapai puncak kejayaannya dan pada masa ini seorang putera Siak (Nama negeri di Minangkabau Timur) menuntut ilmu agama Islam ke Malaka, setelah ia menguasai ilmu-ilmu agama ia pulang ke negerinya kemudian diberi gelar Syekh Labai Panjang Janggut, ialah orang pertama yang menyisiri Sungai Kampar untuk mengembangkan Islam ke pedalaman Minangkabau sampai ke Luhak Lima Puluh Kota Payakumbuh dan akhirnya  Islam sampai di Pusat kekuasaan Islam Pagaruyung.
Perbedaan pendapat tentang    pengembangan Islam ke Minangkabau lewat jalur utara melalui  sungai Kampar, melalui Malaka perantaraan orang Siak, yang buktinya sebutan orang Siak bagi penuntut Ilmu di  Minangkabau masih kedengaran adanya. Perbedaan ini tidak menafikan keberadaan  Syekh Burhanuddin Ulakan yang berada di pesisir pantai Minangkabau. Bahkan dapat ditegaskan, bahwa data sejarah  menunjukan bahwa pengembangan Islam di Nusantara  berawal dari daerah pesisir pantai, bukanlah hal yang sulit diterima bahwa   pertama kali masuk ke Minangkabau. Satu hal, yang hampir semua ditutur dalam sejarah bahwa raja Minangkabau pertama yang memeluk agama Islam adalah Raja Angwarman setelah Islam bertukar namanya dengan Sultan Alif (1581M)  masih dari Dinasti Aditiyarman. Sejak masa itu sturuktur sosial kerajaan Pagaruyung mengalami perobahan, sesuai dengan tuntutan masyarakat Islam kelembagaan Rajo Tigo Selo (Raja Adat, Raja Ibadat (Masih dalam agama Hindu Budha) dan Raja Alam  tidak lagi memadai, maka akhirnya dibentuklah kelembagaan eksekutif  (Pelaksana) dari hukum adat dan hukum agama Islam yang dianut luas oleh masyarakat di Darek dan Rantau. Lembaga baru itu kemudian disebut dengan istilah Basa ampek Balai (Artinya ada empat pemegang kekuasaan dalam masyarakat sesuai bidangnya) yaitu: (1) Titah di Sungai Tarab yang memegang adat dan pusaka, sekaligus berfungsi sebagai perdana  menteri kerajaan Pagaruyung. (2) Datuk Indomo di Saruaso yang memiliki kewenangan pertahanan dan keamanaan kerajaan.(3) Tuan Qadhi di Padang Ganting penanggung jawab utama bidang keagamaan dan (4) Makhudum di Sumanik sebagai bendaharawan dan menteri keuangan Nagara.  Disamping itu,  diangkat pula Tuan Gadang di Batipuh sebagai Panglima tertinggi Pagaruyung. Pembentukan dua kelembagaan pada kerajaan Pagaruyung semangkin memperluas kesempatan untuk penyiaran Islam bagi masyarakat Minangkabau baik di darek begitu juga di rantau. Ada dua lembaga ini masih baru bersifat formalitas dalam kerajaan, belum lagi dapat berfungsi penuh dan dapat menjadi alat penyiaran Islam yang efektif. Barulah sejak kedatangan Syekh Burhanuddin  Islam semangkin kuat dan kemudian pengembangannya secara sistimatis dan meluas serta  meninggalkan  sistim pendidikan dan penyiaran yang mapan.[24]
Pengembangan Islam yang demikian pesat  dan masuk jauh ke pedalaman Minangkabu melalui lembaga surau. Surau dapat memainkan perannya sebagai unsur kebudayaan asli suku Melayu  dan berkaitan dengan keyakinan yang  dianutnya.  Setelah  Islam masuk  ke Nusantara surau  menjadi  bangunan  Islam.  Dahulu surau  adalah  tempat bertemu, berkumpul, berapat  dan  tempat tidur  bagi pemuda-pemuda dan  laki-laki  yang sudah tua,  terutama duda. Selain di Minangkabau bangunan  sejenis  terdapat  juga di Mentawai, disebut Uma,  di Toraja  Timur, disebut  Lobo, di  Aceh  disebut  Muenasah  dan  di  Jawa  disebut Langgar.[25] Surau menurut  pola adat Minangkabau adalah  kepunyaan kaum  atau Indu. Indu ialah bagian  dari suku, dapat  juga  disamakan dengan Clan.  Surau  adalah  pelengkap rumah gadang (rumah adat). Namun tidak setiap rumah gadang  memilikinya, karena surau yang telah ada masih  dapat  menampung  para pemuda untuk bermalam, para musafir dan pedagang bila melewati suatu desa dan kemalaman dalam  perjalannya. Dengan demikian para pemuda yang tinggal dan bermalan di surau dapat  mengetahui informasi yang terjadi di luar desa mereka, serta situasi kehidupan di rantau. Jadi surau mempunyai multi fungsi, karena ia juga pusat inaformasi dan tempat terjadinya sosialisasi  pemuda.[26]
Sebelum  masuknya agama Islam surau  telah  menjadi institusi dalam  struktur adat Minangkabau. Dalam sejarah Minangkabau dipercayai  bahwa surau besar pertama  didirikan  raja Aditiawarman  tahun  1356 M  dikawasan  Bukit  Gombak.[27] Surau yang selain berfungsi sebagai pusat peribadatan  Hindu-Budha ini  juga  tempat pertemuan  anak-anak  muda untuk mempelajari berbagai pengetahuan  dan  keterampilan sebagai persiapan menempuh kehidupan. Surau  bahkan  sebelum  kedatangan  Islam,  di  Minangkabau telah mempunyai keduduk-  an  penting  dalam struktur  masyarakat.  Fungsinya lebih  dari sekedar tempat  kegiatan  keagamaan.  Menurut  ketentuan  adat surau  berfungsi  tempat berkumpulnya  para remaja, laki-laki  dewasa  yang belum  kawin atau  duda. Karena adat menentukan  bahwa anak laki-laki tak punya kamar  dirumah orang tua mereka, maka mereka bermalam  di  surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat  penting  bagi  pendewasaan  generasi muda Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun dari  keterampilan praktis  lainnya.[28]
Melalui lembaga surau Islamisasi berjalan secara perlahan-lahan tapi pasti. Tantangan paling nyata muncul dari kalangan adat. Banyak ajaran Islam dan praktek sosial yang dilakukan kalangan adat yang bertentangan, seperti minuman arak, berjudi menyaung ayam dan perbuatan  maksiat lainnya. Akibatnya, para penghulu merasa terusik oleh kedatangan Islam khususnya  peranan kalangan surau dalam menyebarkan islam ketengah-tengah masyarakat. Penentangan  kalangan penghulu terhadap Islam pada tahap Islam tidaklah begitu menghambat lajunya penyiaran Islam. Hal ini, disebabkan kedua belah pihak menempatkan dirinya secara arif dan tidak saling mencampuri. Penghulu atau kalangan adat  mengurus masalah adat dan nagari, sedangkan ulama mengurus agama atau surau kalaupun mereka menyiarkan islam tetapi bersifat persuasif dam  akomodatif . Perbedaan baru muncul secara nyata ketika di surau muncul gerakan penyiaran Islam yang lebih intensif, ulama surau mengunakan pendekatan revolusi dan represi, yang dikenal dengan gerakan Paderi.
Kedatangan Islam, pada dasarnya tidak melahirkan konflik dalam masyarakat Minangkabau. Sistim adat yang sudah ada dan berkembang  tidak pernah diganggu oleh Islam, malah sebaliknya Islam memberikan  pengakuan pada tatanan adat, khususnya yang berkaitan dengan Akhlak dan budi pekerti. Maka, adalah keliru pendapat yang menyebut bahwa adat Minangkabau dan agama Islam bertentangan, akan tetapi pertentangan antara pemangku adat dengan kalangan ulama memang pernah ada konflik. Dalam kenyataannya di masyarakat sejak dahulu sampai sekarang  keduanya dapat berjalan secara bersamaan tanpa ada satu diantaranya  yang ternafikan. Penulis sejarah Taufik Abdullah menyimpulkan bahwa adat dan agama di Minangkabau dapat berjalan secara seimbang dan saling isi mengisi. misalnya ,ia menulis:   
Dampak paling awal dari agama islam adalah dalam formulasi adat yang baru, sebagai pola prilaku ideal, dalam arti bahwa unsur-unsur luar dapat seluruhnya diserap ke dalam orde yang berlaku sebagai bahagian dari suatu sistem yang koheren. Sangat sukar untuk mengetahui bagaimana cara reformasi dari seluruh pola strukural  masyarakat dicapai. Pertama-tama tidak ada sumber adat yang dikenal sebelum masuknya agama Islam, kecuali dalam informasi yang tersebut di sana sini  dalam tambo, serta pepatah-petitih adat. Kedua, “kodifikasi” atau lebih tepat perumusan, adat yang sebenarnya   baru mulai setelah masuknya tulisan  Arab. Lagi pula, dasar logika dan formulasi adat bersandar pada “hukum logika” Islam atau “mantik” . Sikap Minangkabau terhadap adat di dasarkan pada posisi berdampingan dari keseinambungan yang imperatif dari adat – tak lakang dipaneh dan tak lapuk dek hujan- dengan pengakuan tentang pentingnya perubahan – sakali air adang sakali tapian berubah- .Maka secara implisit dalam adat harus ada perubahan serta penyesuaian terhadap keadaan – usang-usang di pabaharui, lapuk-lapuk dikajangi- sedangkan ketengangan permanen dalam sistem tersebut  berkat kebutuhan untuk menyesuaikan nilai dasar  dengan keadaan yang berubah. Untuk menghadapi keadaan yang bertentangan ini, sistem diatur sedemikian rupa, sehinga reavaluasi yang tak dapat dicegah dapat berlangsung lancar, adat dibagi dalam berbagai kategori, dengan unsur-unsur tetap dan yang berubah, prinsip umum  serta variasi lokal mendapat tempat masing-masing yang sewajarnya.[29]
Penyesuaian adat dengan agama itu bukanlah terjadi dengan sendiri, tetapi ini adalah hasil usaha terus menerus yang diawali oleh   kearifan  tokoh penyebar Islam  pertama  yaitu Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman. Kenyataan menunjukan bahwa penyesuaian atau persenyawaan adat dan agama  mula pertama terjadi di daerah rantau, khususnya daerah Pesisir, sejak dari Pariaman sampai ke Pesisir Selatan. Di mana, daerah ini lebih dahulu kuat pengaruh Islam, terutama ketika Syekh Burhanuddin bersama muridnya yang pertama yaitu Muhammad Nasir (Syekh Surau Baru) dari Koto Tangah Padang, Buyung Mudo (Syekh Bayang) dari Bayang Painan  dapat menacapkan  Islam kedalam struktur masyarakatnya.  Ada beberapa  faktor yang menyebabkan  perpaduan  dan persenyawaan adat dan syarak begitu cepat  dan lacar dirantau  antara lain :
Pertama: Adanya bantuan  dan pengaruh dari kekuasaan pemerintahan di  rantau  yaitu, raja atau disebut juga dengan panggilan  Rangkayo,  di mana mereka mendapat  dukungan secara moral dan ekonomi dari   kerajaan Aceh yang mendominasi perdagangan rakyat di daerah pesisir rantau. Akibatnya, Islam dan budaya Aceh menjadi satu pilihan agama dan budaya bagi masyarakat rantau. Sebagaimana di Aceh berlaku pepatah ‘Adat bak Pentu Manaruhum Sultan Iskandar, Syarak bak Syiah di Kuala” (Adat dibawah kekuasaan almarhum Sultan Iskandar Muda, Syarak (Agama) dibawah keputusan Syiah Kuala (gelar untuk Syekh Abdur Rauf al-Sinkili) .Bukan tidak mungkin, filosofi budaya Aceh ini yang melahirkan diktum adat Minangkabau  Syarak mandaki adat manurun.  Diktum ini ada yang memberikan arti bahwa  agama berpusat pada Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman, sedangkan adat berpusat pada Basa Ampek Balai di Darek (Pusat Alam Minangkabau).
Kedua: Pendekatan dan perjuangan yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin beserta sahabat dan murid-muridnya di rantau telah mengem-bangkan Islam secara terencana, sistimatis dengan mengunakan pendekatan kultural (menyesuaikan dengan pola budaya masyarakat yang telah ada). Sehingga memudahkan para Raja, Penghulu, Rangkayo dan masyarakat rantau memeluk agama Islam.
Ketiga:Syekh Burhanuddin dengan empat orang teman utamanya adalah putra-putra Minangkabau yang paham dan mengerti akan seluk beluk budaya dan kebiasaan masyarakat, sehingga mereka mudah berkomonikasi dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungkannya. Hasil dari penyesuaian yang dilakukan menjadikan semangkin mudah berpadunya adat dan Syarak. Sebagai bukti dapat dilihat sampai sekarang di rantau anak berbangsa kepada bapak dengan gelar Sidi, Sutan, Bagindo yang diambilkan dari ayahnya (Patrialchaat) dan bersuku kepada Ibu Koto,Panyalai,Piliang Bodi,Sikumbang dan lainnya (matrialchaat). Adanya pusaka tinggi yang merupakan warisan kolektif yang tak boleh dimiliki pribadi kecuali atas beberapa kasus tertentu menurut sepanjang adat. (menurut aturan adat Minangkabau jatuhnya kepada pihak kemanakan). Ada pula pusaka rendah, yaitu hasil usaha yang dilakukan oleh satu keluarga boleh dimiliki oleh anak-anaknya sesuai menurut hukum Islam. Komporomi ini lebih nyata sekali dalam pepatah adat :
                        Kaluk Paku kacang belimbing
                        ambiak tampurung lengang-lenggangkan
                        bao manurun ka Saruaso
                        Anak dipangku kamanakan dibimbing
                        Urang kampung  dipatenggangkan
                        tenggang kampung jan binaso
                        Tenggang nagari jo adaiknyo.
Keempat; Filsafat adat alam Minangkabau yang mendorongkan masyarakat untuk bersikap dinamis dan segera membaca perkembangan zaman tanpaharus tercerabut dari jati dirinya sebagai orang yang beradat. Misalnya seperti yang tertuangkan dalam pepatah adat:
Panakiak Pisau Siraut
Selodang ambiak kanyiru
Satitik jadikan lalut
Alam Takambang Jadi guru
Filosofi  alam takambang  jadi guru  sebagai kultur masyarakat Minangkabau sangat menunjang sekali persenyawaan adat dan syarak yang prinsipnya sama-sama berasal dari Sunnatullah (Hukum Allah) yang tersurat dan tersirat).
Dilain pihak, lambat dan mandeknya perpaduan adat dan agama berikut pengembangan Islam di  Luhak Nan Tigo (Pusat alam Minangkabau), disebabkan banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh pemuka agama, kendala itu berasal dari kalangan adat (Penghulu), hal ini disebabkan oleh :
Pertama: Pengaruh dari agama Budha yang aristokrat   masih  berbekas pada masyarakat pedalaman  sementara ninik mamak (Penghulu) masih tetap terjerat dalam  kebiasaan-kebiasaan jahiliyah yang Budihistis dan aristokrat serta permainan judi, menyabung ayam dan perbuatan maksiat lainnya. Disamping itu di kawasan Luhak Lima Puluh Kota antara ummat   Islam pernah terjadi pertentangan antara Islam Sunni dengan Islam Syiah. Akibat dari konflik paham keagamaan ini mereka para penghulu memilih mempertahankan kebiasaan lamanya, (adat-istiadatnya) sedangkan masyarakat banyak bingung karena penghulu adalah ikutan dan teladan dalam kehidupan mereka.
Kedua: Basa Ampek Balai sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di Darek masih bersikap formalitis dan melihat perkembangan lebih dulu, mereka lebih menanti perkembangan sebab mereka merasakan jika agama Islam diberi peluang lebih besar tentu posisi dan kedudukannya akan tergeser dalam masyarakat, karena mereka bukanlah Ulama. Mereka menyadari bahwa mereka sebagai pemegang kekuasaan sangat berkepentingan sekali untuk menguasai  masyarakat, namun agama Islam masih perlu diberikan kesempatan untuk memgembangkan dirinya secara sendiri.Walaupun ummat Islam sudah banyak namun mereka masih belum mampu menerobos jauh kedalam sistim pemerintahan alam Minangkabau.
Ketiga, Karena kuatnya kekuasaan dan pengaruh Panghulu di Luhak Nan Tigo. Taufik Abdullah menyebutnya Nagari adalah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang penghulu  bersifat mandiri dan otonom.Sementara kekuatan ulama masih sangat terbatas sekali. Memperhatikan keadaan tersebut  membuat kalangan adat dan agama merasa tidak puas dan sering terjadi perselisihan ditengah-tengah masyarakat.  Atas usaha pemuka agama dalam hal ini Syekh Burhanuddin dan pengikutnya  mereka dapat meyakinkan para penghulu. Maka untuk menjaga ketenteraman masyarakat di buatlah satu kesepakatan antara  Darek dan Rantau,  yang berisikan bahwa kekuatan Syarak (agama) yang telah dipegang oleh para ulama di rantau yang berpusat di Ulakan harus dipadukan dengan kekuatan adat yang berpusat di Luhak Tanah Datar (Pagaruyung), sebab kedatangan ajaran Islam tidaklah bertentangan dengan adat Minangkabau. Agar para Ulama pemegang Syarak dan para penghulu pemangku adat bersama-sama membangun dan memelihara adat dan agama (Islam) sehingga anak, kemanakan aman sentosa, tenang dan damai. Untuk itu perlu adanya perjanjian dan kesepakatan di alam Minangkabau antara kaum adat dan kaum agama dibawah restu yang dipertuankan  di Pagaruyung dengan ketentuan: (a) seluruh rakyat alam Minangkabau resmi menganut dan mengamalkan Islam dalam paham mazhab Syafi’i seperti yang berlaku di Aceh. (b)mensenyawakan adat dan syarak bahwa adat basandi syarak. Kata syarak (Agama ) akan dipakai oleh adat. (c) struktur pemerintahan menurut sepanjang adat dilengkapi dengan fungsionaris-fungsionaris keagamaan. Walaupun kekuasaan Raja sebagai lambang kesatuan alam Minangkabau, karena rantau dan nagari  dibawah raja-raja kecil dan penghulu namun kesatuan agama perlu diwujudkan dan dipertahankan.

PERJANJIAN BUKIT MARAPALAM
Bukit Marapalam teletak antara Desa Sungayang dengan Batu Bulek. Dalam sejarah  Minangkabau dikenal adanya perjanjain Bukit  Marapalam. Perjanjian ini merupakan kesepakatan kalangan ulama dengan pemuka adat dalam menentukan kedudukan agama dan adat bagi masyarakat.  Materi kesepakatan ini hampir semua penulis sejarah Minangkabau menyebut berkaitan dengan hubungan  adat dan agama  dalam kehidupan masyarakat. Pembicaraan awal  mempertemukan kalangan adat dan ulama  dirintis oleh Syekh Burhanuddin    bersama pemuka adat dari rantau. Buah dari kesepakatan Darek dan Rantau yang dilalukan oleh  Syekh Burhanuddin dengan beberapa penghulu menjadi titik awal pembicaraan selanjutnya. Maka pada bulan Syafar tahun 1650M Syekh Burhanuddin bersama temannya yang berempat (Tuangku Bayang dari Bayang,Tuangku Kubung Tigo Baleh Solok,Tuangku Buyung Mudo dari Bayang Pasisir dan Tuangku Padang Ganting Batu Sangkar) yang disebut juga dengan Lima Serangkai, dengan di dampingi oleh Rajo Rantau nan sebelas yaitu: (1)Amai Said (2)Rajo Dihulu (3)Rajo Mangkuto(4) Rajo Sulaeman. (5)PandukoMagek(6)TanBasa.(7)MajoBasa. (8)Malako                            (9)Malakewi. (10)Rangkayo Batuah (11)Rajo Sampono  menemui Basa Ampek Balai yang memegang kendali pemerintahan alam Minangkabau dan  memperkatakan (membincangkan) agama (Syarak) dan adat. Mereka berangkat menemui Basa Ampek Balai atas inistiaf dari Tuanku Padang Ganting dengan nasehat dari Tuan Qadhi Padang Ganting. Kemudian dilangsungkan pertemuan itu di puncak Pato (berasal dari Fatwa atau Petuah) dengan di hadiri Basa Ampek Balai dan Penghulu-Penghulu terkemuka di Luhak Nan Tigo. Pemilihan tempat ketinggian ini karena dari sini dapat dilihat Ranah Pagaruyung kebesaran alam Minangkabau, bukit itu dinamakan dengan Bukit Marapalam teletak antara Desa Sungayang dengan Batu Bulek. Inilah yang kemudian dikenal dengamn Perjanjian Bukit Marapalam . Piagam Bukit Marapalam itu berbunyi:

“ Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”

Atas Qudrat dan Iradat Allah SWT, telah dipertemukan ditempat ini  hamba-hamba Allah untuk memperkatakan adat dan syarak yang akan menjadi pegangan anak kemanakan ,hidup yang akan dipakai mati yang akan ditopang,bahwa adat dan syarak akan dikukuhkan menjadi pegangan di alam Minangkabau ,dengan ini kami sambil menyerahkan kepada Allah SWT sambil mengikuti kata Muhammad SAW. Penghulu ka ganti Nabi, Rajo ka ganti Allah, kami mengikrarkan bahwa: Adaik basandi kapado syarak,syarak basandi kapado kitabullah, syarak mengato adaik  mamakai.(Adat bersendikan syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak (agama) menyatakan adat melaksanakan).[30]
Sagala undang-undang  adat dan kelengkapannya dalam alam Minangkabau Luhak dan Rantau, kampung dan nagari disesuaikan dengan tuntunan adat dan syarak( agama Islam). Ikrar dan kesepakatan ini disampaikan oleh segala ulama dan penghulu kepada rakyat di alam Minangkabau. Perjanjian dituliskan dibawahnya : Atas nama Syarak Syekh Burhanuddin Ulakan dan atas nama kaum adat  Basa Ampek Balai Titah di Sungai Tarab dan disetujui oleh Raja Alam Yang dipertuankan di Pagaruyung.
Setelah selesai ikrar Bukit Marapalam lalu Basa Ampek Balai bersama Syekh Burhanuddin dan rombongan minta pengesahan kepada Yang dipertuankan rajo alam Minangkabau di Pagaruyung yang disaksikan oleh Rajo Adat dan Raja Ibadat. Dalam pertemuan Bukit Marapalam itu juga dibicarakan sisa-sisa ajaran Syiah, sehinga dapat pula kesepakatan bahwa agama Islam yang akan dikembangkan di Minangkabau adalah menuruti Mazhab Imam Syafi’i, beritikad Ahlusunah waljmaah. Selanjutnya melalui para Ulama dan Penghulu diaturlah adat dan syarak di Luhak dan nagari sesuai dengan ajaran Islam, sesuai dengan hukum dan hak alam serta dinamika dan daya cipta, rasa dan karsa manusia dalam membangun budaya. Kemudian sesuai perkembangan waktu kelembagaan Rajo Tiga Selo berubah menjadi Tali Tigo Sapilin, Tungku Nan Tigo Sajarangan yaitu Ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai. Kelembagaan Basa ampek Balai dituangkan lagi menjadi Urang Ampek Jinih, jikalau di Mesjid dikenal dengan Imam, Khatib, Labai, dan pegawai. Di suku dikenal Penghulu, Malin, labai, dubalang dan urangtua Jika dinagari dilengkapi dengan empat yaitu: Balabuah,batapian,babalai dan ba musajik.[31]
Sejak dikukuhkannya Perjanjian Bukit Marapalan oleh pemuka adat dan agama di Minangkabau, maka dilakukan penyebaran  kesepakatan ini oleh kedua belah pihak. Wujud nyata dari perjanjian itu dituangkan dalam  filosofi adat yang lebih populer dengan sebutan pepatah adat :Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah, (adat mesti didasarkan pada agama, agama (Islam) berdasarkan Kitabullah(Al-Qur,an). Syarak mengato adaik mamakai, (Agama Islam memberikan fatwa adat yang melaksanakannya) Adaik buruk (jahiliyah dibuag,adaik yang baik (Islamiyah) dipakai(Maksudnya adat yang  baik sesuai dengan norma Islam harus dipertahankan sementara adat buruk yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam harus dibuang.) Syarak dan adat itu bak aur jo tabing , sanda menyanda kaduonya (Antara adat dan agama itu layak aur dan tebing yang saling memperkuat atau tidak ada antagonistik di dalam kedua filosofi hidup ini). Disebut lagi dalam salah satu kaedah hukum Islam al’adatul muhkamah (Adat itu  menghukumi, artinya mempunyai kekuatan hukum). Syarak Mandaki adaik manurun, (Agama bersumber dari Ulakan  menuju pusat kerajaan Minangkabau di Pagaruyung, yang tempatnya Ulakan di dataran rendah sedangkan Pagaruyung berada di dataran  tinggi Minangkabau)
Inilah bentuk final (Akhir) dari penyesuaian adat dan agama  di Minangkabau yang kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Syekh Burhanuddin sebagai figur Ulama masa itu, dengan di dukung oleh tokoh-tokoh adat baik di rantau maupun di Darek (Pusat) Minangkabau .Kesepakatan  Bukit Marapalam merupakan babak baru dari perjalanan kehidupan sosial budaya dan agama dalam masyarakat Minangkabau, dan sekaligus menjadi starting point  bagi Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan paham keagamaannya secara lebih luas  dan diterima oleh semua lapisan masyarakat di Minangkabau. Lebih penting lagi perjanjian bukit marapalam juga puncak dari kompromi ideologis yang cukup penting dalam sejarah intelektual pemuka adat dan agama, yang patut didalami oleh generasi muda Minang di masa depan.
Di lain pihak, ada  pendapat  yang menempatkan perjanjian Bukit Marapalam sebagai pucak integrasi dan sintesis  akhir dari konflik cultural,  baru terjadi pada abad ke 19 Masehi, yakni setelah berakhirnya Perang Paderi. Telaah  yang digunakan berangkat dari pendekatan budaya.” Corak Budaya Minangkabau yang sintetik itu pada  dasarnya bersifat universal. Jikok dibalun sabalun kuku, jika dikambang saleba alam. Budaya aslinya bercermin kepada alam:Alam takambang jadi guru. Alam terkembang seperti kita tahu, bukanlah sesuatu yang liar dan tak beraturan, tetapi sebaliknya, sangat teratur dan tunduk kepada hukum-hukum alam. Semua pepatah-petitih,pantun,bidal adat dan sebagainya, dengan mana filsafat adat dialegorikan, sebelum Islam masuk ,bercermin kepada hukum alam itu. Dengan masuknya Islam, maka semua ini tinggal menyesuaikan,karena hukum alam itu ternyata adalah sunnatullah. Karenanya tidak ada satupun yang harus berbeda dengan hukum alam takambang jadi guru pra Islam dengan sunnatullah itu. Inilah sintetisme itu. Karena adat Minangkabau pada hakikatnya adalah ajaran budi, dan budi pekerti, dia berada pada pelataran filsafat budi (ethical philosophy), yang tujuannya adalah untuk menata prilaku - sosial maupun individual - agar sesuai dengan hukum alam itu. Dengan masuknya Islam, Islam tinggal menambahkan unsur-unsur kepercayaan yang bersifat theologik-eskatalogik (Ketuhanan dan alam akhirat) yang semuanya berpunca pada Keesaan dan Kemaha-Kuasaan Allah. Karena filsafat budi tidak mengenal dan tidak bercampur dengan paham kosmologi  pra Islam yang berorentasi pada paham serba roh (Animisme dan dinamisme), maka tidak ada yang harus dibersihkan dari filsafat budi itu. Bahwa Paderi dan gerakan Reformasi selanjutnya yang terjadi sepanjang abad ke 19 dan penggal pertama abad 20 di Minangkabau bertujuan untuk memerangi khurafat, bid’ah dan takhyul, syirik, bidikannya bukanlah pada ajaran adat yang berguru kepada alam itu,  tetapi kepada praktek -praktek heretek (menyimpang) pra Islam yang tercampur kedalamnya, dan prilaku sosial yang menyimpang dari ajaran Islam; misalnya kebiasaan minum arak, berjudi, menyabung ayam, main perempuan, berjampi-jampian, sihir dan sebagainya, yang semua itu sama sekali tidak diajarkan oleh adat, bahkan dilarang. Dan praktek-praktek inilah yang diperangi oleh gerakan Puritanisme Paderi dan gerakan pembaharuan gelombang-gelombang berikutnya. Ini juga sintetisme, sehingga ajaran adat yang bersifat penghalusan budi bersintesis dengan ajaran Islam yang bersifat lebih penghalusan budi, tetapi yang sekarang dihubungkan dengan kepercayaan kepada Allah SWT serta Muhammad Rasulullah SAW panutan utama akan kehalusan budi itu. Apa yang terjadi sepanjang abad ke 19 dan tengah pertama abad ke 20 itu adalah sebuah proses pengintegrasian dan sintesis dari kedua sumber budaya yang datang dan yang menanti.
Dalam proses pengintegrasian  dan sintesis dari kedua sumber budaya ini kata sepakat akhirnya dibuhul dengan perjanjian Bukit Marapalam,yang masih di abad ke 19 sesudah Perang Paderi,yaitu dengan adigium :”Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kirabullah” Dari Adigium ini terlihat dengan jelas bagaimana status dan jenjang hirarki antara adat, Syarak dan Kitabullah. Ini pun diperkuat lagi dengan adigium-adigium penjelasan dan pendampingnya, seperti ungkapan : Syarak mengato adaik mamakai”,Syarak bertelanjang adaik basisamping,adat buruk (jahliyah dibuang dan baik (Islamiyah) dipakai dan lainnya”Status dan hirarkinya adalah demikian ,sehingga secara prinsip tidak mungkin ada benturan antara adat dan syarak, yang diatasn ya adalah al-Qur’an  kalimatul ‘ulya. Maka Al Qur’an dengan sendirinya adalah kontitusi tertinggi bagi budaya dan masyarakat adat Minangkabau.[32]  
Sisi lain yang patut juga dipahami bahwa  Perjanjian Bukit Marapalam adalah merupakan suatu mata rantai dari penyesuaian adat dan Islam di Minangkabau. Amir Syarifuddin dalam Disertasinya Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Minangkabau IAIN Jakarta hal.328-51 menyimpulkan bahwa Penyesuaian adat dan Islam telah mengalami tiga priode besar yaitu : (1) Masa di mana adat dan hukum Islam berjalan sendiri-sendiri dalam batas yang tidak saling mempengaruhi, yang dimunculkan dalam pepatah adat “ Adat Basandi Alur dan Patut, dan Syarak Basandi Dalil” ini adalah masa-masa awal Islam di Minangkabau, di mana dominasi adat sangat begitu kuat dan Islam belum lagi masuk ke dalam sistim sosial masyarakat. (2) Priode sama-sama dilakukan keduanya, artinya adat dan Islam telah masuk kedalam sistem sosial masyarakat namun masih belum  berpengaruh, karena ia baru saja diterima oleh masyarakat  dan nilai-nilai moral yang dibawa Islam sejalan dengan pesan adat Minangkabau. Pepatah  adatnya pada masa ini “ Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Adat”. (3) Priode  ketiga  lahir sebagai buah dari ketidakpuasan diantara ulama terhadap gerakan Paderi yang pada mula bertujuan untuk membersihkan agama dari pengaruh adat, kemudian menjadi  perebutan kekuasaan  antara kaum agama dan kaum adat, sayang kedua-duanya  kalah dan Belanda berhasil memasuki Menangkabau. Puncak ketidakpuasaan dua kelompok ini melahirkan akomodasi dan itu dituangkan dalam Perjanjian Bukit Marapalam, sehingga melahirkan filosofi adat “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”
Perbedaan lahirnya Perjanjian Bukit Marapalam  dapat ditarik suatu benang merah yang tidak saling bertentangan. Melihat masa kehadiran Syekh Burhanuddin (Abad 17 Masehi)  dan masa  sesudah Paderi (abad 19 Masehi) ada jarak waktu dua abad, tentu waktu yang cukup lama. Ini bisa saja dilihat dengan pendekatan yang bersifat lebih luwes. Bukan tidak mungkin, Syekh Burhanuddin memang di abad 17 itu telah melakukan perintisan awal dari upaya sintesis antara adat dan agama ini. Upaya Syekh Burhanuddin bersama pemuka adat di Rantau menemui Basa Ampek Balai  untuk merundingkan hubungan adat dan agama ini adalah merupakan modal awal bagi lahirnya piagam Bukit Marapalam yang jadi momentum bersejarah dalam proses integrasi dan sintesis adat dan agama  seperti yang dikemukan Pakar Sosiologi dan Hukum Islam diatas diatas. Bisa juga diinterpretasikan  bahwa Perjanjian Bukit Marapalam  pasca Paderi  (abad ke 19 ) adalah tindak lanjut dari Perjanjian Bukit Marapalam pertama yang telah disponsori oleh Syekh Burhanuddin dulunya.
            Argumen lain yang patut dipertimbangkan adalah jika Perjanjian Bukit Marapalam itu baru sesudah Paderi, maka bagaimana mungkin Tambo adat alam Minangkabau yang menjelaskan tentang   pokok pembicaraan sebelum perjanjian dibuat  yang dikenal dengan 10 (sepuluh) landasan pokok dalam penyesuaian adat dan syarak, 4(empat )jatuh pada adat, yaitu adat, istiadat, nan diadatkan dan sabana adat dan 6 (enam) jatuh pada Pusako, yaitu: kalo-kalo, baribu kalo, bajanjang naik, batanggo turun, hukum ijtihad dan undang-undang permainan alam itu telah  ditulis. Aturan adat  itu ditulis dengan huruf arab melayu. Penulisan huruf arab Melayu baru berkembang luas setelah Islam menyebar melalui lembaga pendidikan Surau yang mula pertama di rintis Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan. Kenyataan ini dapat menjadi indikasi bahwa Perjajian Bukit Marapalam pertama itu telah  terlaksana pada abad 17  berdasarkan dorongan dan desakan Syekh Burhanuddin bersama-sama Pemuka adat dari rantau, Basa Ampek Balai dan Penghulu-Penghulu di Luhak nan Tiga waktu itu.
            Patut juga menjadi bahan renungan pemerhati kebudayaan Minangkabau bahwa memilih antara data historis yang didukung oleh  bukti ilmiah  dengan  penuturan lisan oleh para pemuka adat dan cendikiawan  adat adalah sesuatu yang memerlukan kajian dan perenungan yang mendalam. Bukan tidak mungkin kebiasaan berpikir “ilusif dan imajinatif” para pemangku adat itu ada benarnya disamping tentu ada pula yang perlu dikritisi secara cermat. Kebangaan pada sejarah masa  lalu masih saja menjadi faktor penghambat menemukan kejernihan sejarah sebagaimana adanya. Dalam kaitannya dengan keberadaan Syekh Burhanuddin dan perannya dalam pengembangan Islam atau Islamisasi Minangkabau masih banyak data yang bersifat oral dan kalaupun sudah ditulis itu baru sebatas cerita dari mulut ke mulut yang dapat juga melalui cerita lisan.  Kondisi seperti ini patut menjadi tantangan bagi peminat Sejarah Islam  Minangkabau untuk menguak hutan belantara keilmuaan yang demikian luasnya. Yang pasti Syekh Burhanuddin sebagai figur Ulama pengembang Islam masa lalu keberadaannya dalam peta pengembangan Islam di Minangkabau tidak perlu diragukan lagi,  karena  bukti konkritnya dan kepercayaan masyarakat terhadapnya (evidensi) dapat dijadikan pegangan.    Lebih dari itu, bagi Ulama , cendikiawan Islam  dan pemuka adat Minangkabau perlu menangkap semangat zaman  bagaimana Adat dan Agama ini dapat diwariskan  dalam pengertian yang lebih rasional dan dan dapat mendorong  akselerasi (Percepatan) tumbuhnya generasi yang berbasiskan pada “Adat dan Agama “ sebagai identitas dirinya di era moderen dan global yang berobah dan berkembang begitu cepat dan meluas.
Perjanjian bukit marapalam  itu adalah  bentuk final dari persenyawaan adat dan agama di alam Minangkabau. Meskipun tidak dapat  dipungkuri bahwa pemerintahan  di  Minangkabau  diatur menurut  dua  sistem,  yaitu Sistem Koto  Piliang  dan  Sistem Bodi  Caniago.  Gagasan yang dituangkan oleh Datuk Katumanggungan disebut laras Koto Piliang,  sedangkan yang dituangkan atau dititahkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang  dikenal dengan  laras Bodi  Caniago.[33] Kedua kelarasan  ini melahirkan  aturan-aturan (adat)  yang menjadi  way  of  life (pandangan  hidup) orang  Minangkabau  yang  didasarkan kepada  ketentuan  nyata  yang terdapat  dalam alam  kehidupan dan alam  pikiran seperti yang  ditemukan  dalam pepatah  “  alam takambang  menjadi  guru “. Sistim baru yang dilahirkan oleh kesepakatan bersama diatas tidaklah merusak sistem yang telah mapan sebelumnya ini. Akan tetapi, ia memperkokoh   jalinan  hubungan  yang  erat  antara  lembaga keagamaan (surau)  sebagai pusat ibadat dengan kerajaan  sebagai  pusat  kekuasaan menjadi begitu kokoh dan satu dalam kehidupan sosial budaya ,seperti yang   diisyaratkan oleh pepatah “ syara’ mangato adat  mamakai” (agama memberikan fatwa dan adat melaksanakannya), sehingga agama dan adat menjadi identitas orang Minang. Akan sangat ‘aib  jika  orang Minang dikatakan sebagai orang yang tidak beradat  atau tidak beragama. 
Buah dari jalinan  adat dan agama  melahirkan tumbuhnya tradisi   surau, di mana masing-masing suku dari masing daerah di ranah Minang mempunyai surau, bahkan a’ib jika bagi suatu suku dalam satu kampung yang tidak punya surau. Di surau-surau ini para murid menimba ilmu dari guru-gurunya, sekaligus sebagai tempat transmisi ajaran Islam ke berbagai daerah lainnya. Ajaran yang dikembangkan di surau pada umumnya   berbau mistik, karena  inilah   yang serasi dengan keadaan masyarakat, nama sufi  seperti misalnya Ibn ‘Arabi dan al-Jilli,  Hamzah Fansuri dan Abd. Rauf al-Sinkili  adalah tokoh yang dikenal luas dalam wacana keagamaan di surau. Demikian juga hanya di surau  telah di perkenalkan  empat tarikat fase awal abad ke 17 M. yaitu ; tarikat Qadariyah didirikan oleh Abdul Qadir Jailani (w 1166 M), Naqsyabandiyah, oleh Baha’al-Din (w 1388  M), Syattariyah oleh Abdul Syattar (w 1415 M) dan Suhrawardi.  Dari keempat tarikat tersebut, tarikat Syatariyah mempunyai penganut  banyak yang dalam dan luas, yang pada mula bersumber dari  Syekh Abd. Rauf, yang kelak mempunyai murid Syekh Burhanuddin di Minangkabau.[34]
Selain melalui Tarekat, Islam telah dikembangkan juga melalui perkawinan. Pada umumnya para pedagang Islam telah mempunyai perkampungan  etnis sendiri, sehingga mereka cenderung untuk tinggal lebih lama, sehingga ada mereka yang menikah dengan penduduk setempat, terutama putri dari kalangan ningrat, sehingga langkah ini menunjang tersebarnya Islam di Indonesia. Islam semakin berkembang ke daerah pedalaman.  Secara bertahap Islam mulai memberi pengaruh terutama di kalangan struktur pemerintahan, seperti terlihat pada sistem pemerintahan nagari. Tidaklah dapat dikatakan sebuah nagari bila tidak ada di nagari tersebut 1. Masjid dan Balairung, 2. Bersawah dan berladang, 3. Bertepian tempat mandi, 4. Berpasar dan bergelanggang.[35]  Selain itu untuk melengkapi sebuah nagari mesti ada pula empat jinih (jenis) yaitu ; a. Penghulu, b. Alim ulama, c. Manti dan d. Dubalang. Bila diperhatikan tentang penggunaan istilah adat di Minangkabau, biasanya setiap nagari berdiri dengan adatnya sendiri, laksana republik-repuplik kecil yang berhak mengatur nagarinya dalam wilayah masing-masing. Pada umumnya setiap nagari di perintah oleh seorang penghulu. Untuk kebesaran sebuah penghulu ia harus melengkapi struktur pemerintahannya. Kalau penghulunya bergelar misalnya Datuk Malano, maka pembantu di bidang agama bergelar dengan Malin Malano, Fakih Malano, Labai Malano dan lain sebagainya. Semua gelar itu mereka dasari kepada bahasa-bahasa Umat Islam (bahasa Arab).
Selain pengaruh di atas, terlihat lagi dalam penulisan Tambo Adat Alam Minangkabau. Tulisan yang dipakai adalah tulisan Arab Melayu. Tambo-tambo lama itu disalin dari tangan ketangan seperti hikayat Syekh Jalaluddin yang diterbitkan di Belanda dengan judul Verheal Padri-Onlusten op Sumatra  tahun 1857 dan naskah tuangku Imam Bonjol oleh Naali Sutan Caniago dengan judul Memorie Van Tuangku Imam Bonjol oleh De Stuerss dan banyak lagi naskah Arab-Melayu lainnya. Di sini tergambar keterpaduan antara adat dan Islam, terutama sekali dalam bidang kebudayaan. Sekaligus juga sebagai bukti bahwa unsur-unsur Islam  sangat relevan dengan masyarakat Minangkabau. Hal itu tercermin semenjak orang Minangkabau menerima Islam sebagai panutannya. Perpaduan itu lahir adalah setelah Islam intensif berkembang di Minangkabau yaitu pada masa Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya.[36]
Begitu erat dan kentalnya adat di Minangkabau, sehingga antara adat dengan Islam sulit dipisahkan, sehingga lahir pada mulanya istilah  Adat Basandi Syara’, Syara’ basandi Adat, dalam musyawarah Bukit Marapalam , lahirlah perpaduan yang lebih tegas dan sempurna, yaitu  :  Adat basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah. Selanjutnya lebih nampak lagi dalam pepatah Minang,  Syarak mengato adat memakai (antara adat dan Islam sejalan), atau yang lebih tegas lagi adalah  Syara’ bertilanjang, adat bersisamping ( ulama berbicara secara tegas dan tuntas, sedangkan adat berbicara dengan kata  kiasan.


[1] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama  Timur Tengah dan Kepuluan Nusantara  Abad-17-18, Mizan  Bandung, 1998, h. 210
[2]  Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning : Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, penerbit Mizan. Bandung. Cet. Ke- V. 1998, h. 124-133



[3] Hamka. Ayahku. Penerbit Uminda. Jakarta. Cet.III, 1963, h.11
[4] Prof.Dr.M.Nasroen. Dasar Falsafah Adat Minangkabau, 1971.Penerbit Bulan Bintang.Jakarta. halaman.19
[5] Muchtar Naim, Dr. Merantau Pola Migrasi  Suku Minangkabau. Gajahmada University Press. 1984. Halamn 74
[6] M. Rasjid Manggis Dt. Radjo Penghoeloe, Minangkabau Sejarah Ringkas,  hal. 100.
[7] Burhanudin Daya, Gerakan Pembaharuan Islam: Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995),  hal. 27. Data luas Indonesia ini setelah Timor Timur keluar dari Indonesia. (2.41.137 km persegi – 14.069 km persegi).
4Mulyanto Sumardi, et. al., Profil Sumatera Barat (Jakarta: PT. Inter Nusa, 1992), hal. 301.
[9] Muhammad Rajab.  Sistem Kekerabatan di Minangkabau .  Center  for Minangkabau studies. Padang . 1969. Halaman 201.
[10] A.B.DT. Madjo Indo. Kato Pusako: Pepatah,Petitih,Mamang,Pantun , Ajaran dan Filsafat Minangkabau. Penerbit MPAM kerjasama PT.Rora Karya. Jakarta. 1999.halaman 1.  
[11] H. Blink, De Economische geographie Bovenlanden en het belastingraaggtuk voor Sumatra’s . Weskust, Vragen Vanden dag, 23. (1908) ,hal. 195-614.
[12] Elizabeth E. Graves. Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule  Nineteenth Century. (New York : Cornel Modern Indnesia Project Southeast  Asia Program , 10981) hal.1
[13] P.E. de Joselline de Jong, Minangkabau And Negeri sembilan Sosio Political strukcture. Eduard Ijdo,Leiden, 1980.1951,halaman 3
[14] Christine Dobine, Islamic rivivalisme in Minangkabau ot the Nineteenth Century. (London camridge university Press, 1974) halaman 321. Lihat Juga Taufik Abdulah. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan historis islam di indonesia. Yayasam Obor Indonesia. Jakarta. 1987. Halaman  104-127. 
[15] Rasyid Manggis. Minangkabau,Sejarah Ringkas dan Adatnya. Sri Darma Padang. 1971.halaman 11. Juga dapat dibaca dalam Hamka, Sejarah Ummat Islam. Bulan Bintang.Jakarta. 1976,halaman 15-6.
[16]  Drs.M.D.Mansoer dkk. Sejarah Minangkabau. 1970.Bharata.Jakarta. halaman 37.
[17] Chritine Dobbin, Islamic Revivalism in a cChanging Peasant Eonomy Central Sumatera ,1784-1847 (London: Curzon Press Ltd,1993) halaman 119.
[18]Taufik, Abdullah. .Sejarah dan Masyarakat,Lintasan Historis Islam di Indonesia (Jakarta,Pustaka Firdaus,1987)h.111-2)
[19]Nasroen,M,Prof.Dasar Falsafah Adat Minangkabau. (Jakarta, Penerbit Pasaman. 1957.h.21)
[20]Alaidin,Koto, DR. Pemikiran Politik PERTI.(Persatuan Tarbiyah Islamiyah)45-70.Jakarta.Penerbit Nimas Multima,1997.h.16-7.
[21] Slamet Mulyana, Runtuhnya kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara Islam di Nusantara, Bharata, Jakarta, 1963, h. 261, J.G. Van Leur, Indonesian Trade Sosiety, Sumur, Bandung, 1955, h. 102, D.G. Hall, Sejarah Asia Tenggara, Kuala Lumpur, 1979, h. 252-253.
[22] Uka Tjandrasasmita, Masuknya Islam ke Indonesia, dalam Buletin Yaperma, no. I, tahun III, Pebruari, 1976, h. 80
[23] Stempel kepala sembilan yang didalamnya  tertera  simbol dari Kerajaan Aceh   dulu masih tersimpan di tangan khalifah Syekh Burhanuddin  seperti benda peninggalan lainnya, sejak peristiwa PRRI, setempel ini hilang, namun  banyak  pihak pernah melihatnya.  Penjelasan  dari  BAAM DT. Maninjun . Wawancara . 25 April 2001. Di Ulakan Pariaman. 
[24] BAAM DT,Maninjun (Seorang pemuka adat dan juga mantan wali Nagari Ulakan yang terpelajar,salah seorang Dosen di Universitas Pancasila Jakarta dalam Mata kuliah Antropologi Budaya).Wawancara. 25 Maret 2002 di Ulakan Pariaman Sumatera Barat
[25] Sidi  Gazalba, Mesjid  Pusat Ibadat  dan Kebudayaan  Islam, Pustaka al-Husna , Jakarta,  1989,  h.  314-15
[26] Mulyani, Surau dan  Pembaharuan Pendidikan Islam  di Minagkabau, IAIN IB Press,  1999, h.  7
[27] Azyumardi Azra, Pendidikan. t. h.  118
[28] Ibid
[29] Taufik Abdullah. Sejarah dan Masyarakat : Lintasan Historis islam di indonesia, Yayasan Obor Indonesia. Jakarta . 1987. Halaman 114.
[30] HBM.Letter. PersenyawaanAdat Dan Syarak. (belum diterbitkan) 2000. Padang Sumatera Barat.
[31] Drs.H.Bagindo M.Letter.Proses Persenyawaan Adat dan Syarak di Minangkabau (Naskah belum diterbit) .Penulis seorang Pemuka Agama yang berasal dari daerah Pariaman dan juga ketua Yayasan Syekh Burhanuddin Ulakan ,Pensiunan Kepala Bidang Penerangan Agama Islam Kanwil Depag Sumatera Barat. Juga  menjadi Anggota DPRD I Sumatera Barat 1995-2000. Mubaligh yang dikenal luas di Sumatera Barat
[32] Dr.Mochtar Naim.Filosofi Budaya Minangkabau :Mengembalikan Identitas Keislaman-Keminangan sebagai jati diri orang Minangkabau..Makalah dipersentasikan pada Dialog Kebuidayaan ,Pesta Budaya Minang 2000 TIM Jakarta 21 Oktober 2000.
[33] Taufik  Abdullah, Adat dan Islam  Suatu  Tinjuan Tentang Konflik  di  Minangkabau. Dalam Taufik  Abdullah  (Ed),  Sejarah  dan Masyarakat  lintasan Historis  Islam  di  Indonesia, Pustaka  Firdaus, Jakarta, 1987. H. 310
[34] Syekh Burhanuddin adalah orang yang pertama membawa ajaran tarikat Syatariyah ke Minang , lihat G.W.J. Drewes, Indonesia, Mysticsm and Activism Unity and Variety in Muslim Civilization, The University of Chicago Press, Amerika, 1963, h. 289-291
[35] M. Nasroen, Dasar Filsafat Adat Minangkabau, Bulan Bintang, Jakarta, 1971. h. 36
[36] Taufik Abdullah, Adat dan Islam ; Suatu Tinjaun Tentang Konflik di Minangkabau, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, h. 116

0 komentar:

Posting Komentar